#25 Sayap Pelindung

727 152 19
                                    

Tzuyu menggulir matanya kala nomor tak dikenal itu lagi-lagi menghubunginya. Ia segera menggeser ikon berwarna merah, menolak panggilan tersebut. Ia memang bisa saja memblokir nomor sang ibu. Namun, ia tak melakukan itu. Bukan tanpa alasan. Ia takut jika suatu saat akan ada kabar penting yang mungkin harus ia dengar.

Desahan kesal Tzuyu tentu membuat Jungkook segera menoleh sekilas sebelum kembali memperhatikan jalanan. Ia yakin, seseorang pasti benar-benar mengganggu gadis itu. Namun, ia masih ragu untuk bertanya. Apalagi, Tzuyu terlihat tak ingin membuka diri untuk menceritakannya.

"Kau lapar? Mau mampir sebentar?" tanya Jungkook. Ia ingin mengalihkan pikiran Tzuyu. Ia takkan biarkan gadis itu larut dalam masalahnya. Ia harap, Tzuyu bisa menghadapinya meski tanpa bantuannya.

"Tidak perlu, aku tidak lapar. Jihyun sudah tidur, aku tidak mau membuatnya bangun. Kita makan di rumah saja." Gadis itu berujar sembari menatap keluar. Ia sungguh tak suka jika harus menangis di depan seseorang. Tadi pagi adalah pengecualian. Ia tak bisa menahannya, sungguh. Padahal, belum tentu ia akan menjalin hubungan dengan Jungkook. Namun, rasa sayangnya pada triplets sudah begitu besar. Ia akan sakit hati jika mendengar perkataan seperti Jihyun utarakan.

Tzuyu menoleh ke arah bangku penumpang. Anak manis itu masih memejamkan mata dengan kaki yang dibalut perban. Terselip rasa bersalah sebab semua ini takkan terjadi jika Jungkook tak merakit kursi untuknya. "Ternyata benar, lebih baik aku tidak pernah terlahir ke dunia ini. Ayahku tidak akan tiada, ibunya Joie tidak akan kerepotan, dan mungkin Jihyun tidak akan terluka. Apa aku bisa memohon agar Tuhan mencabut nyawaku saja? Aku terlalu membuat banyak masalah."

Jungkook tersenyum, tangannya yang bebas kemudian menggenggam tangan gadis itu. "Jika kau tidak terlahir, mungkin akan banyak kesedihan yang terjadi."

"Kau sedang menghiburku?" Tzuyu berdecih kemudian melepas genggaman tangan itu. "Lagi pula, jika aku tiada tidak akan ada yang sedih."

"Ada."

"Siapa?" Tatapan itu tak menusuk. Namun, seakan menuntut sebuah jawaban.

"Aku, Tzuyu. Aku yang akan sedih."

Tzuyu tertawa setelah mendengar pengakuan Jungkook. "Kau sedang melawak? Sekarang atau pun sebelum aku ada, hidupmu sama saja, bukan? Sudah, jangan buat perutku sakit dengan leluconmu."

Tzuyu, apa semua yang kaualami, membuat hatimu sulit terbuka? Aku akan membukanya, Chou Tzuyu.

"Aku akan beli burger. Kau mau?"

"Drive-thru?"

Jungkook mengangguk kemudian membelokkan mobilnya. Untung saja ada restoran cepat saji yang mereka lewati. Jika tidak, mungkin mereka akan kelaparan. Ia tak mungkin meminta Tzuyu memasak nanti. Lagi pula, hanya sesekali ia membelikan makanan cepat saji untuk triplets. Anggap saja ia membahagiakan malaikat kecilnya itu dengan burger atau pizza.

"Padahal aku bisa memasaknya di rumah."

"Hari ini tidak perlu turun ke dapur. Wajahmu terlihat sangat lelah." Jungkook tersenyum kemudian menurunkan kaca mobilnya. Ia mulai menyebutkan menu yang ia pesan, membuat Tzuyu secara tak sadar memperhatikan.

Tak ada alasan yang bisa kupakai untuk membencimu, tuan Jeon. Kau terlalu sempurna, sungguh. Aku ikut sedih karena takdir begitu tak adil padamu.

👶🏻👶🏻👶🏻

Tzuyu tersenyum sembari menatap foto dirinya dan sang ayah. "Bogosipho, Appa."

Tzuyu tahu, ia tak boleh seperti ini. Namun, ia tetaplah manusia yang merasa sangat merindukan sang Ayah. Ia ingin dekapan hangat itu lagi jika mimpi buruk menyerangnya. Namun, mustahil jika ia mengharapkan dapat dekapan itu lagi.

Lithe✅Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin