Menyadari lawan bicaranya memberi tatapan menelisik tanpa menjawab, gadis nerd itu cepat menjawab supaya urusan cepat selesai. "Tadi dia ke arah perpustakaan."

Aurum belum bergeming. "Jangan liat aku kaya gitu. Aku bukan mereka."

Aurum mengangguk. "Maaf dan makasih, ya."

Gadis itu menyunggingkan senyum sesaat setelah sampai di koridor perpustakaan karena melihat Nata baru saja keluar dari tempat penuh buku tersebut sembari membawa sebuah buku agak tebal menuju taman belakang.

"Nata!"

Sungguh, saat ini Nata tidak bisa lagi menahan muaknya pada anak baru yang sok kenal dan sok dekat dengannya. Jadi, mari kita akhiri hari ini. Nata bersedekap dada, menunggu Aurum sampai kehadapannya lantas menariknya ke taman belakang.

"Coba bilang apa yang lo mau dari gue?!" Alamak, ketusnya dia pikir Aurum.

"Kita temenan."

Nata menyugar rambutnya layaknya seorang lelaki yang sedang frustasi. "Kenapa harus gue? Gue yakin lo udah denger berita tentang reputasi gue! Nama lo bisa ikutan tercemar kalo deket gue." Suaranya melemah pada kalimat terakhir.

"Lah ya terus aku harus gimana? Jauhin dan caci maki kamu kayak mereka? Sorry, gak level, ya."

Saat ini keinginan terbesar Nata adalah menjedotkan kepala cantik Aurum ke pohon ataupun tembok. Yang penting bisa buat cewek otak bocah itu sadar. Ayolah, ini masalah reputasi yang tidak bisa dianggap remeh.

"Yang mereka omongin itu bener. Gue jalang! LO PAHAM GAK SIH, HAH?"

Plak!

Nata menangis memegangi pipinya yang berdenyut nyeri. Tatapan tajam Aurum mampu membuatnya bungkam. Sedangkan sang penampar merasa terhina saat kaumnya dengan gamblang merendahkan dirinya sendiri. Wanita itu istimewa.

"Apa yang harus dibenci dari seorang jalang? Kehidupan malamnya itu masalah pribadinya. Penyakitnya bisa diobati. Jalannya yang salah bisa dibenahi. Aku memang gak tau apa yang sebenarnya terjadi sama kamu, tapi aku yakin setiap kejadian buruk itu bukan mau kamu. Biarkan orang-orang berbicara apa layaknya anjing yang menggonggong. Bahkan seorang jalang yang mengaku penuh dosa lebih baik dari seorang ahli agama tapi tidak pernah mengakui dosanya."

Sungguh, Nata terharu hingga kembali menangis sesegukan. Belum pernah ada seseorang yang ingin dekat apalagi berteman dengannya, Aurum yang pertama. Setelahnya mereka berpelukan layaknya teletubbis. Aurum hanya bisa mengelus punggung rapuh itu.

"Kita pokoknya berteman sekarang. Gak terima penolakan!" Nata hanya tersenyum tulus dan mengiyakan.

"Ayo ke kantin. Aku traktir deh sebagai hari jadi pertemanan, ralat persahabatan kita."

Dalam perjalanan mereka menuju kantin, Nata iseng bertanya. "Lo gak mau minta maaf atas tamparan lo tadi?"

"Gak! Itu pantes buat kamu yang udah ngerendahin diri sendiri." Jleb! Aish, omongannya tajem amat, sampe ngena ke ulu hati.

Mereka berdua dibuat melongo saat baru sampai di pintu kantin karena tidak ada meja yang kosong. Ralat, sebenarnya ada satu meja yang lebih besar dan panjang di pojok belakang kantin. Tanpa pikir panjang Aurum langsung menarik Nata ke meja tersebut.

"Mau pesen apa? Buruan!"

"Terserah lo."

Sepeningggal Aurum, Nata hanya bisa menunduk menghindari berbagai tatapan yang dilayangkan murid kantin serta menulikan telinga atas bisikan mereka, dan Aurum menyadari itu. Disaat yang bersamaan, Nata juga ketar-ketir. Dia sangat tahu siapa pemilik bangku kantin ini hingga tetap kosong meski penghuni kantin membeludak.

Beberapa saat kemudian Aurum kembali dengan dua mangkuk bakso, lalu berbalik mengambil minuman dingin di kulkas.

"Pindah aja, yok."

"Heh! Gak usah banyak tingkah. Mejanya dah pada penuh manusia." Aurum tidak sadar raut khawatir sahabat barunya itu karena dibutakan rasa lapar.

Nata hanya bisa menurut. Selain karena tawaran menggiurkan berupa makan gratis ditambah cacing diperutnya yang meronta-ronta, yang terpenting saat ini adalah Aurum ada di dekatnya, bersamanya.

Tak berselang lama setelah itu, Aurum menyadari bahwa suara bisik murid-murid nyinyir nan julid bak tawon itu lenyap digantikan suara denting sendok garpu juga gelas.

Aurum dan Nata mendongak bersamaan melihat keadaan. Disana, di pintu masuk kantin berdiri sekelompok cowok, entah berapa orang karena sebagian ada yang dibelakang. Aurum mengernyit bingung saat mereka menatap meja yang gadis itu tempati.

"Mampus! Yang punya dateng 'kan," batin Nata.

Hai hai hai, Zen kembali. Gimana sama part kali ini?

Siapakah para cowok itu?

Tunggu bab selanjutnya!

Don't forget to follow, vote, coment, and share this story!

Tertanda,
Zen🍁

Lampung, 14 September 2021

R I V E RWhere stories live. Discover now