"Bagas lamar Gia?"

Bukan Gia yang nanya pakai kata ganti sok imut kayak gitu tapi Airin yang tiba-tiba pulang dan mendengar pertanyaan Bagas. Gia reflek bangun dari posisinya begitu juga dengan Bagas karena jujur mereka benar-benar kaget kayak ketangkep basah melakukan hal yang iya-iya padahal mereka juga yakin kalau Airin sebenarnya tau apa yang sudah mereka lakukan tapi memilih untuk berpura-pura tidak tau.

Wajar kan yang Bagas sama Gia lakuin? Iya kan?

"Kok Mama udah pulang? Katanya sampai sore?" tanya Bagas berusaha mengalihkan topik walaupun ia sendiri tau kalau tidak akan berhasil.

Tingkat keingintahuan mamanya dengan Kara itu levelnya sama walau dalam keadaan mendesak Airin jauh lebih kepo dari Kara.

"Dokternya sepi jadi bisa pulang cepet. Jadi, kamu bener lamar Gia barusan?" tanya Airin mengembalik topik.

Nah kan bener, batin Bagas.

"Itu nanya doang, Ma, bukan ngelamar. Kalau Gia mau baru dilamar deh," tukas Bagas. 

Otak Bagas mendadak berpikir cepat, ia buru-buru memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan kalau kayak gini kan pasti Airin yang akan bujuk Gia sampai Gia ngomong mau, jadi Bagas gak perlu susah-susah bikin Gia ngomong mau karena mamanya sendiri yang akan maksa Gia sampai mau, hahaha! 

"Terus Gia jawab apa?" 

"Gak tau, tanya aja tuh sama anaknya," jawab Bagas melempar masalah ke Gia.

Gia menatap Bagas tidak percaya kalau ia dilempar dengan mudahnya, bukan karena Gia gak mau tapi Gia gak tau mau jawab apa di depan Airin. Kalau saja cuma Bagas yang nanya kayak tadi mungkin Gia bisa jawab, kan kalau sekarang Gia jadi takut salah jawab.

"Gia mau kan? Nanti biar langsung Bagas lamar," ucap Arin penuh semangat.

Bagas nahan ketawa. "Tuh, Gi, ditanya jawab dong," ledek Bagas sambil menyenggol lengan Gia dengan sikunya.

Gia menatap Airin dan Bagas bergantian lalu mengangguk.

"Yes! Oke, Mama yang urus semuanya nanti kalian tinggal terima beres aja," ucap Airin lalu langsung melenggang masuk ke dapur.

"Mama telepon siapa?" tanya Bagas penasaran waktu Airin langsung ambil ponsel dan melakukan panggilan.

Masa secepat itu ngurusnya baru juga satu detik Gia setuju? Pikir Bagas dalam hati.

"Telepon mamanya Gia."

Bagas sama Gia reflek tatap-tatapan, emang salah kalau melibatkan orang tua dalam urusan anak muda tuh.

"Sabar, sabar ya kalian. Mama mu tuh kalau semangat 2 jam lagi juga jadi acaranya bisa-bisa," ujar Sadam sambil menatap Bagas dan Gia kasian sekaligus meledek.

.
.

"Sumpah?" pekik Kara heboh.

Bar di daerah Kota Baru menjadi tujuan Bagas dan Gia untuk bertemu pengantin baru ini. Radit dan Kara sepakat untuk menghabiskan malam bersama dengan Bagas dan Gia karena besok malam mereka berdua sudah kembali ke Jakarta.

Bagas sama Gia mengangguk.

"Nih, kembaran lo! Bikin nyokap maksa gue," adu Gia.

"Lho, emang lo bakal nolak kalau gak ada nyokap?" tanya Bagas tidak percaya.

"Bukan nolak, Gas, cuma gak seburu-buru tadi jawabnya. Gue mau kali jual mahal kayak cewek-cewek lain," balas Gia.

Bagas mengalungkan lengannya dileher Gia lalu ia tarik kearahnya membuka Gia sedikit kesal karena ia sulit bernapas. 

"Gas, bocil banget, ih!" protes Gia.

Bagas malah mengecup pipi Gia dalam dan bertubi-tubi sampai-sampai Gia harus mengelap kulit pipinya karena basah.

"Ya udah nanti kalau gue lamar lo sok-sokan jawab gue pikir-pikir dulu ya biar keren nanti kalau diterima."

Hah, rencana macam apa ini?

"Abis itu beneran dipikiran terus ditolak. Eh, Gia maunya sama Arel," goda Radit.

Kara sama Gia ketawa ngakak tapi Bagas enggak. Kentang goreng yang mereka pesan menjadi bahan amukan Bagas karena ia melempar beberapa kearah Radit yang nyebelinnya si anjing itu malah mangap. Dan, masuk :') Jadinya gak ngeselin tapi malah keren.

Gia menepuk lengan Bagas kali ini kasar. "Bagas! Makanan gak boleh dimainin kayak gitu! Gue sumpahin lo sakit gigi kalau mainin makanan lagi," omel Gia.

"Eh, kalau sakit gigi dokternya kayak lo mah gue rela, Gi," goda Bagas.

"Ogah, gue ngobatin lo. Biar aja dokter senior yang udah ubanan yang obatin."

"Jadi kalian beneran mau lamaran?" tanya Kara memastikan sekali lagi.

Kebahagiaan Bagas adalah kebahagiaan Kara juga, jadi sebelum Kara memutuskan lanjut ke tahap hidup selanjutnya, ia harus benar-benar memastikan Bagas sudah menemukan kebahagiaannya juga. 

"Iya," jawab Bagas dan Gia yang surprisingly barengan.

"Jodoh dah emang lo berdua," cibir Radit melihat kekompakan tersebut.

Melihat semua adegan ini membuat Kara bahagia. Ia sudah bahagia, Bagas sudah bahagia, tinggal mereka melanjutkan hidup sambil tetap bahagia di jalan mereka masing-masing. Setelah 27 tahun bersama, Bagas dan Kara akan memilih jalan hidup yang berbeda. Kara akan sangat rindu masa-masa hidupnya yang ia habiskan hanya bersama Bagas. 

The Perks Of Breaking Up ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang