21

13.2K 1.1K 6
                                    

"Cewek tuh butuh dingertiin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Cewek tuh butuh dingertiin. Dia ngomong iya bukan berarti iya, dia ngomong gak bukan berarti gak."

.
.

Udah di Jakarta?

Suara Kara terdengar dari balik ponsel iphone boba milik Bagas. Kara adalah orang yang pertama meneleponnya setelah kakinya mendarat di tanah Jakarta. Bagas baru kembali dari Medan, benar-benar kembali kali ini, bahkan sekarang ia masih di bandara menunggu Radit yang menjemputnya.

"Udah. Lo gak ikut jemput gue?" tanya Bagas.

Gak, gue ada pertemuan sama WO. Radit aja ya? Dia dari kantor langsung tuh.

Bagas mengangguk walaupun ia tau sang kembaran tidak bisa melihatnya seberapa erat pun jiwa mereka terikat. "Iya, gue pinjem Radit lo bentar ya," katanya terkekeh.

Asal dibalikin, gue gak mau jadi janda.

"Mulut lo, Kar..." gumam Bagas hendak protes. Siapa pula yang mau Kara jadi janda? Selain gadis itu sendiri, Bagas juga tidak akan mau kembarannya itu jadi janda di usia yang masih muda.

Setelah mengakhiri panggilannya dengan Kara, panggilan dari Radit langsung masuk. Bagas belum sempat menyimpan ponselnya, ia langsung menjawab panggilan Radit.

Jodoh banget ini anak dua.. heran, batin Bagas.

"Woi," sapa Bagas.

Nyesel gue jemput lo, bangsat.

Suara Radit mengumpat membuat Bagas tertawa tapi buru-buru ia redam karena banyak orang yang ternyata memperhatikannya. Bagas belum mau disangka sebatang kara dan gila karena dia sendirian terus ketawa sendiri pula.

Gue udah di parkiran, lo keluar. Gak usah sok manja ya minta gue jemput ke dalem.

"Iya. Eh, Dit, anterin gue dulu ya?"

Kemana? Rumah Gia?

"Tuh tau."

Ya udah cepet.

"Oke, love you," goda Bagas bercanda dan sebelum mengakhiri panggilannya dengan sang sahabat, Bagas bisa mendengar suara pura-pura muntah dari Radit.

.
.

Radit sengaja menunggu di mobil karena ia tidak terlalu kenal dekat dengan mamanya Gia, tapi Kara kenal dekat. Bagas juga bilang gak akan lama karena dia cuma sekedar kasih tau kalau dia udah sampai Jakarta. Pasalnya, Gia udah 2 hari gak balas pesan Bagas.

Hari ini hari Sabtu, buat manusia mager macam Gia sudah pasti gadis itu ada di rumah jadi Bagas gak perlu capek-capek berpikir keras kemana perginya Gia.

Pintu rumah Gia pun terbuka dan muncul Githa.

"Eh, Bagas? Gia ngambek lagi?" tanya Githa iseng.

Bagas tertawa lalu menggeleng. "Gak, Bunda. Mau kasih tau aja kalau Bagas udah di Jakarta soalnya Gia udah 2 hari gak bales chat," kata Bagas.

"Tapi, Gas, Gianya lagi pergi tuh. Bunda telponin suruh pulang mau?"

"Eh, gak perlu, Bun. Perginya sama siapa, Bunda?"

"Sama Arel. Dia sebelumnya gak bilang kamu?"

Bagas pun terdiam lalu menggeleng pasrah. "Gak, Bunda. Gak apa-apa nanti Bagas telpon Arel aja kalau Gia gak angkat," tukas Bagas berbohong.

Bagas mana punya nomor Arel? Tapi, Bagas khawatir Githa akan mikir yang tidak-tidak kalau beliau tau kalau pemuda dihadapannya ini tidak tau mengenai keadaan dan alasan kepergiannya dengan pria lain sekarang ini.

Apa ada yang salah? Atau Bagas terlambat? Atau Gia sudah memantapkan hatinya?

"Muka lo kenapa?" tanya Radit sekembalinya Bagas dari rumah Gia.

"Gia pergi sama Arel, jing," jawabnya ketus.

"Emang kelihatan lagi deket banget sih mereka. Lo sih pake ngadi-ngadi ke Medan, deketin Putri segala," balas Radit.

"Kenapa jadi Putri sih?" tanya Bagas tidak paham.

Radit menghadap ke sahabatnya yang tengah putus asa. "Gas, dengerin gue. Mana ada cewek yang gak bingung kalau cowoknya juga deket sama cewek lain? Jelas Gia ragulah lo sebenarnya ada hati sama si Putri-Putri itu atau enggak walaupun lo ngomong terang-terangan bilang enggak."

"Tapi, Gia sendiri sama Arel."

"Namanya juga cewek, Gas," sahut Radit seadanya.

Radit berdeham karena Bagas ternyata sampai sejauh ini masih kurang paham menghadapi makhluk hidup yang begitu sempurna bernama perempuan. "Gas, dengerin testimoni dari gue ya. Ini lo tanamkan dulu dalam otak lo kalau yang gue hadapi adalah perempuan bernama Lengkara. Lo tau kan tahtanya Kara di dalam spesies bernama perempuan itu setinggi apa?" tanya Radit bercanda.

Bagas terkekeh lalu mengangguk, tanpa Radit jelasin lebih panjang ia sudah tau maksudnya Radit.

"Cewek itu butuh dingertiin. Dia ngomong iya bukan berarti iya, dia ngomong gak bukan berarti gak. Mungkin Gia yang dulu kalau iya ya iya, kalau enggak ya enggak, tapi mungkin sekarang dia udah jadi cewek yang sesungguhnya. Jadi, waktu dia bilang iya bisa jadi itu enggak dan waktu dia bilang enggak bisa jadi itu ya."

"Jadi maksud lo?"

"Bagas tolol! Selesaiin dulu urusan lo sama Putri baru tanya Gia dia maunya apa. Keburu direbut Arel sih gue mampus-mampusin lo tolol," umpat Radit sejadi-jadinya.

Bagas mau nonjok Radit aja kalau gak inget mereka sahabat.

"Dit, anjing lo," balas Bagas.

Bagas bukan marah dengan Radit, tapi Bagas kesal karena dia jadi teringat perkataan Arel beberapa waktu lalu.

Selesaiin urusan lo sama Putri, batin Bagas mengulang kata-kata dua orang itu.

Bagas pun menetapkan hati, menyelesaikan urusannya dengan Putri menjadi urutan pertama apa yang harus ia kerjakan sekarang.

"Dit, anterin gue lagi!" ucap Bagas tanpa rasa bersalah.

"Gas, lo tau kan gue Sabtu masih masuk kerja?" tanya Radit gak habis pikir diperintah-perintah Bagas macam supir.

"Tau. Tapi kan lo bos-nya, jadi anterin gue ya."

Radit menghela napas kasar dan mengalah. Apa yang enggak buat Bagas? Penyiksaan dua manusia kembar ini terlalu membekas di hidup Radit tapi dalam arti saling menyayangi.

The Perks Of Breaking Up ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang