11

16.2K 1.2K 8
                                    

"Gi, gue mantan lo bukan tukang ojek lo," sindir Bagas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gi, gue mantan lo bukan tukang ojek lo," sindir Bagas.

.
.

Gia tidak membeli satu pun buah tangan tapi akhirnya ia banyak berfoto-foto mulai dari papan jalanan yang bertuliskan JL. MALIOBORO sampai berfoto asal dengan delman yang lewat. Tadinya Bagas ngajak keliling naik becak tapi ternyata udah kesorean, Bagas harus segera membeli kopi dan kembali ke rumah untuk melanjutkan laporannya.

"Gue duluan deh, Kar, lo kalau masih mau jalan sama Radit ya jalan aja," ujar Bagas.

Bagas, Gia, Radit dan Kara sudah berkumpul lagi sebelum mereka terpisah dengan Radit dan Kara untuk mencari barang-barang yang ingin dibeli. 

"Lo mau ikut Bagas apa gue, Gi?" tawar Kara.

Gia kan gak harus kerja dan dia juga konteksnya jalan-jalan kesini jadi Kara kasian kalau Gia harus mendekap di rumah karena Bagas harus kerja. 

"Bagas aja, Kar, gue juga mau rebahan aja mumpung liburan."

"Liburan mah jalan-jalan, Gi, lo malah mau rebahan! Awas tulang lo lurus lama-lama!" protes Kara. 

Padahal Kara mau jalan-jalan sama Radit dan Gia, soalnya Kara udah lama juga gak jalan bareng sama Gia macam girls day out gitu. 

"Besok deh, kita pergi berdua. Gimana?" ajak Gia.

"Oke, call! Sampe batal gue santet ya si Bagas," ancam Kara.

"Santet aja, orang cuma mantan," balas Gia sarkas.

"Gi?" sela Bagas hendak protes. 

Bagas dan Gia sudah berpisah dengan dua sejoli itu, Kara katanya masih mau cari kafe kekinian yang baru di Jogja sebelum pulang sedangkan Bagas dan Gia langsung cari kafe terdekat agar bisa langsung sampai di rumah.

"Jogja tuh indah banget ya, Gas.." gumam Gia sambil menikmati pemandangan disekitarnya.

"Iya, apalagi sama lo."

"Gombal banget, males," cibir Gia.

Suara gemuruh geledek pun terdengar tanda Jogja akan segera turun hujan, Bagas mempercepat vespanya agar sampai di kafe sebelum turun hujan. Setidaknya jika hujan turun pun mereka sudah sampai di kafe agar bisa berteduh.

"Gi, pegangan, gue mau ngebut," ujar Bagas penuh modus.

Niat Gia emang ngerjain Bagas jadi yang dipegang itu bahunya bukan pinggangnya.

"Gi, gue mantan lo bukan tukang ojek lo," sindir Bagas.

Gia terkekeh lalu menyelipkan lengannya melingkar di pinggang Bagas lalu meletakkan dagunya lagi di bahu Bagas.

"Gini aja terus sampai Jakarta," ledek Bagas lalu mereka tertawa.

Bener aja, hujan turun sesampainya Bagas dan Gia di kafe. Jarak kafe dengan rumah orang tua Bagas itu tidak jauh palingan hanya 10 menit juga sudah sampai. Mereka memesan 4 gelas kopi untuk dibawa pulang, Bagas 3 dan Gia 1. 

"Gas, tabrak yuk?" ide Gia.

Bagas menggeleng. "Sakit entar gak bisa iya-iya," katanya.

"Kita pas pacaran gak pernah hujan-hujanan kayak di film-film mumpung mantanan nih," seru Gia.

"Konteks pemikiran macam apa itu, Gianina?"

"Konteks pemikiran dalam proses pendewasaan diri, Bagaskara."

"Serius nih lo mau ujan-ujanan?" tanya Bagas sekali lagi memastikan dan Gia mengangguk dengan mantap.

"Kapan lagi lo gak larang-larang gue malah nurut. Ayo ah kebanyakan mikir lo udah pinter juga!" ujar Gia langsung menarik tangan Bagas menerobos hujan deras untuk langsung menuju motor vespa Bagas. 

Gia memeluk erat bungkusan plastik kopi dan barang-barang mereka agar tidak basah terkena hujan sedangkan Bagas siap mengebut dengan vespanya yang gak akan ngebut-ngebut banget juga.

"Bagas, dingin banget!" pekik Gia.

Bagas melihat bibir Gia sudah bergetar dari kaca spion kanannya. Gia itu kurus banget makanya kalau kedinginan bisa sampai gemeteran dan bibirnya jadi biru.

"Tuh kan, gue bilang apa. Makanya, Gi, sering-sering dengerin gue. Mau neduh dulu?"

"Gak mau! Seru! Airnya dingin, enak."

"Jangan diminum ya, Gi.." ledek Bagas lalu ia tersenyum.

Kedua mata Bagas dan Gia sudah sama-sama membentuk bulan sabit bukan karena tersenyum tapi karena mereka tidak bisa melihat dengan jelas akibat terpaan air dan angin yang sakit. Hujan pun semakin deras bahkan bagian kulit mereka yang terbuka serasa ditusuk ketika ditabrak dengan air yang jatuh.

Hah, Gia menyesal.

.
.

Gia benar-benar menyesali keputusannya tadi apalagi karena ia tidak mendengarkan Bagas yang jelas-jelas melarangnya untuk main hujan-hujanan tapi anehnya pada akhirnya Bagas menuruti keinginannya dan mereka hujan-hujanan bareng.

"Noni minum dulu air hangatnya," ujar Airin.

Sampai di rumah orang tua Bagas, Gia langsung diminta Airin mandi duluan sedangkan Bagas mandi setelahnya. Saat ini Bagas sedang mandi dan Airin bertugas menggantikkan Bagas untuk menemani Gia.

Gia mengangguk lalu meminum air hangat yang Airin siapkan, bukan hanya tubuhnya saja tapi perasaannya juga menghangat. Bagaimana ada manusia dengan wujud bak dewi dan hati bak malaikat? Mamanya Bagas memang tidak nyata.

"Seru main hujannya?" tanya Airin.

"Seru. Jarang-jarang, tante, si Bagas mau diajak main hujan," jawab Gia bersemangat.

"Dia gak bakal mau kalau bukan kamu yang ajak."

"Biasanya aku ajak juga gak mau, tapi kali ini mau."

"Berarti dia mencoba berubah demi kamu," tukas Airin.

Jawaban Airin membuat Gia terdiam lalu ia tepis jauh-jauh karena Gia sendiri tidak tau perasaan Bagas untuknya sekarang dengan masuknya wanita bernama Putri ke dalam hidup Bagas. 

"Bagas itu ya, Gi, jelas tentang apa yang dia mau sama gak mau, dia suka sama gak suka, kalau dia gak suka ya dia gak bakal ngelakuin bahkan semua orang yang dia sayang juga gak akan dikasih," ungkap Airin.

Gia mendengarkan dengan seksama sambil sesekali mengangguk paham karena dia juga mengenal sifat Bagaskara dengan baik. 

"Kayak Kara dulu, dia mau kuliah di Singapura tapi Bagas gak ngasih karena dia tau Kara itu anaknya gampang terbawa pergaulan. Jadi, Bagas khawatir dan akhirnya dia ngelarang Kara ke Singapur. Sebagai gantinya dia ngajak Kara pindah ke Jakarta karena Kara penasaran hidup di kota besar itu kayak gimana. Tapi lihat hasilnya buat Kara? Keputusan Bagas ngebawa dia hidup lebih baik, ketemu Radit, jadi anak baik, ketemu kamu juga," lanjut Airin.

Gia tidak membalas tapi dia paham betul maksud yang Airin coba sampaikan untuknya. 

"Ngomongin apa?" tanya Bagas dengan rambut basah dan handuk yang melingkar. Bagas juga sengaja tidak memakai baju terlebih dahulu dan membiarkan si roti sobek menjadi tontonan gratis.

Suhu tubuh Gia yang tadi dingin spontan langsung panas. 

Bagas sengaja ya? batin Gia.

"Ngomongin kamu," jawab Airin jujur lalu mengedipkan matanya sebelah ke Gia. Airin terlalu gaul untuk ukuran orang tua dengan dua anak yang sedang dalam tahap memasuki usia 30 tahun mereka.

Airin mendekat dan mendekap Gia dalam-dalam lalu berbisik. "Mama tinggal ya, Sayang, nanti malam turun makan dibawah ya? Mama masakin sop," ujarnya.

Rasanya Gia mau nangis aja dapat perlakuan macam begini dari Airin, Gia jadi kangen orang tuanya di rumah. Ditambah Airin mengganti sebutannya dengan Mama sebelumnya ia selalu menggunakan kata ganti Tante. Hah, pertanda apa ini? 

The Perks Of Breaking Up ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang