9

18.2K 1.3K 5
                                    

"Putri mesti tau nih gebetannya tukang nyosor," sindir Gia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Putri mesti tau nih gebetannya tukang nyosor," sindir Gia.

.
.

Mereka istirahat sebentar sebelum mereka menjalankan rencana mereka untuk pergi jalan-jalan ke daerah Malioboro. Motor vespa Bagas masih bertengger sempurna di garasi karena kata Airin setiap hari Pakde merawatnya.

"Mau naik vespa gak, Gi? Lo belom pernah kan naik vespa gue," ajak Bagas.

"Mogok gak?" tanya Gia was-was.

"Mogok tinggal dorong. Manja lo," balas Bagas sewot.

"Ck," cibir Gia. "Ya udah deh," tapi akhirnya Gia mau juga.

Bagas tersenyum senang lagi sebagai tanda bahwa Gia adalah perempuan pertama yang naik ke atas vespanya bahkan mama dan Kara aja belum pernah.

"Oh, ya, Gi, sorry, lo jadi mesti pura-pura pacaran sama gue," ucap Bagas.

"Santai, masih mending gue disuruh pura-pura masih pacaran sama lo daripada sama Radit. Emang keadaan nyokap lo gimana sekarang?" tanya Gia.

"Kata bokap sih semakin buruk makanya dia juga nyaranin gue sama Kara buru-buru pulang dulu."

Raut wajah Bagas spontan berubah menjadi sedih, Gia mendekat lalu mengecup pipinya. "Gue disini kalau lo mau cerita, Gas, as an kind ex."

"Mana ada mantan tapi nyium pipi gue barusan?"

"Ya udah, jangan harap gue nyium lo lagi ya!" ancam Gia.

Bagas tidak peduli dengan ancaman Gia, ia langsung menyambar bibir Gia dan melumatnya dalam. Baru sekitar 5 detik tapi Gia langsung kehabisan napas, emang Bagas itu nyebelin!

"Gas, mau pergi gila, udah," tegur Gia menepuk dada Bagas yang masih mencium bibirnya ganas tapi dibalas Bagas dengan gelengan.

"5 menit bisa, Gi."

"Bisa apa?"

"Bisa gila," balas Bagas bercanda.

"Putri mesti tau nih gebetannya tukang nyosor," sindir Gia.

"Arel mesti tau kalau gebetannya suka mancing buat disosor," balas Bagas menyindir, dia tidak mau kalah dengan Gia.

Mereka tertawa bersama sambil bertukar sindiran tanpa melepaskan pangutan bibir mereka.

"Lama lo. Sini!"

Bagas memindahkan Gia dengan mengangkat pinggang ramping gadis itu untuk naik ke pangkuannya lalu hanya dengan satu gerakan Bagas berhasil meloloskan baju yang Gia kenakan.

"Gas, emang lo bawa si biru?" tanya Gia.

Gia memang menggilai sentuhan Bagas tapi otaknya harus tetap fokus alih-alih Bagas sengaja tanpa pengaman. Bagas kan gila!

"Kalau lagi pergi sama lo mah gue bawa sepabrik, Gi," ujar Bagas sarkas.

"Orang gila," balas Gia terkekeh.

"Gi, lo bilang kita sampai kapan bisa kayak gini?" pertanyaan Bagas tiba-tiba keluar begitu saja.

Suasana tiba-tiba menegang walaupun leher jenjang Gia masih tetap digerayangi Bagas.

"Gue gak tau. Mungkin sampai kita berdua ketemu dengan yang lebih baik?" balas Gia melemparkan pertanyaan ke Bagas.

"Kalau gak ketemu?"

Pertanyaan Bagas membuat Gia ikut bungkam.

.
.

Gia gak tau kenapa Airin senyum-senyum menatapnya dan Bagas bergantian. Gia sesekali melirik kearah Bagas yang bahkan juga tampak tidak mengerti dengan keadaan ini.

"Ma, seneng banget?" tanya Bagas.

"Iya, lihat kamu akur sama Gia, Kara akur sama Radit. Mama lebih dari seneng," jawab Airin tulus.

Gia mendadak sedih dengan perkataan itu, ia serasa jadi orang jahat karena membohongi wanita berhati malaikat seperti Airin. Gia yakin, Bagas dan Kara juga sama-sama merasakan hal yang sama tapi mereka melakukan ini demi kebaikan.

Airin ini sakit, jantungnya lemah lebih tepatnya setiap hari semakin melemah, jadi ia hanya boleh mendengar kabar-kabar yang bahagia saja. Kalau-kalau Airin tau, Gia dan Bagas sudah putus bisa dipastikan sepertinya rencana liburan mereka digantikan dengan menjaga Airin di rumah sakit.

Maka dari itu, Bagas dan Kara sama sekali tidak mau.

"Leher lo banyak bekas Bagas," bisik Kara mendekat tepat di telinga Gia.

Mata Gia membulat tajam menatap Bagas. Bagaimana ceritanya dia tidak sadar kalau Bagas meninggalkan tanda di lehernya?

Leher Gia itu putih banget jadi udah pasti ini tanda jelas sejelas-jelasnya!

"Gas?" tanya Gia tajam.

"Hehe. Damai, Gi," jawab Bagas cengengesan.

Gia rasanya mau balik ke Jakarta aja langsung, dia udah gak ada muka lagi buat natap Airin.

"Its okay, Sayang," ujar Airin membantu menetralisirkan rasa malu Gia yang berlebihan ini.

Gia cuma bisa tersenyum kikuk sambil meremas lengan Bagas sampai cowok itu kesakitan.

"Makanya, Gi, jadi cewek jangan cuek-cuek banget sama penampilan. Kalau mau keluar ya mbok ngaca dulu kan jadi bisa nyadar kalau ada hasil kreatifitasnya Bagas disana," sindir Radit sambil ngakak.

"Dit, gue colok lo ya," ancam Gia.

"Kar, Radit tuh!" adu Gia ke Kara.

"Udah ih, Dit, anaknya lagi malu juga jangan dibercandain," tegur Kara langsung. Buat Kara dalam beberapa momen, posisi Gia dihidupnya lebih tinggi dibandingkan Radit.

Airin memandangi empat anak muda didepannya sambil tersenyum tulus. Ia tidak pernah sebahagia hari ini.

"Mau pake hoodie gue? Buat nutupin?" tawar Bagas.

Gia mengangguk pasrah yang malah meninggalkan kesan gemas buat Bagas, tanpa sadar kekehan Bagas keluar begitu saja sebelum dia kembali ke kamarnya untuk mengambil hoodie favoritnya.

The Perks Of Breaking Up ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang