53. Pillow Fight (Or Not Really)

1.1K 213 150
                                    

Aku duduk memangku botol minum kaca berisi teh mawar yang dibuatkan oleh Mark di hotel sebelum berangkat tadi. Entah mengapa aku sangat menyukai teh buatan Mark, jadi, hari ini aku memutuskan membawa sebotol kaca besar ke mana-mana. Sekarang sudah tidak hangat karena sudah dibawa berkeliling ke istana Buckingham, duduk-duduk di Primrose Hill, bahkan naik London Eye.

Sore ini hangat. Riak-riak permukaan Sungai Thames terlihat berkilau memantulkan cahaya matahari lembut di antara gumpalan-gumpalan awan tebal. Di seberang sana, Palace of Westminster berdiri kokoh. Bangunan berarsitektur Perpendicular- era gothic akhir yang menjadi ciri khas abad ke 15- itu seperti tak lekang oleh waktu.

Aku melahap kebab yang tinggal setengah langsung dalam gigitan besar. Pandanganku berpindah pada Big Ben, aku berharap bisa mendengar dentang dari menara jam indah yang bernama resmi Elizabeth Tower itu. Sayangnya, Big Ben berhenti berdentang paling tidak hingga tahun 2021 karena Gedung Parlemen sedang direnovasi besar-besaran.

Entah mengapa aku menjadi sentimental sekali 21 Agustus 2017 lalu, Big Ben berdentang sebanyak dua belas kali sebagai tanda perpisahan sebelum lonceng seberat tiga belas ton itu akan membeku dalam hening untuk tahun-tahun yang panjang. Rasanya seperti patah hati akibat menara jam yang kehilangan dentangnya. Aku sangat konyol.

Lamunanku buyar karena Mark tiba-tiba mengusap sudut bibirku dengan ibu jarinya. Aku baru sadar bahwa aku makan dengan belepotan.

Sangat memalukan, Clavina.

"Kau suka sekali kebab, ya?" Mark bertanya dengan raut antusias. Ia senang sekali melihatku makan banyak. Ia sendiri sudah menghabiskan kebabnya beberapa saat yang lalu.

Aku mengangguk. Entah mengapa dua hari belakangan nafsu makanku seperti berubah drastis. Aku berselera sekali menyantap ini itu. "Ini adalah kebab terbaik yang pernah kumakan," gumamku jujur sambil menutup mulutku yang penuh dengan telapak tangan. Sepertinya aku akan ketagihan dengan kebab yang kami beli di kedai kecil milik pria paruh baya asli Turki ini.

"Di Woodstock juga ada yang enak. Tapi ukurannya tidak sebesar yang ini." Mark menutur. "Kapan-kapan kuajak kau ke sana jika memang kau suka kebab."

"Mark..."

"Hmm?"

Aku menoleh, menatap Mark yang terlihat berwibawa mengenakan mantel hitam panjang dengan kerah berdiri ala Sherlock Holmes versi BBC. Rambut hitamnya bergerak-gerak ditiup angin yang berembus lembut. "Kita sudah empat hari di London."

Mark mengernyit. "Ada apa? Kau bosan, ya?" tanyanya cemas.

"Aku tidak mungkin bisa bosan dengan kota ini." Aku berujar. "Tapi apakah tidak apa-apa? Hotel yang kita tempati semewah itu dan kita tinggal berlama-lama?"

Mark tersenyum. "Jangan khawatirkan apapun. Aku memang punya tabungan khusus untuk berbulan madu. Aku sudah mengumpulkannya selama bertahun-tahun."

Aku terkejut sekali mendengar itu. "Jadi, kau memang sudah merencanakan pernikahan lama sekali?"

Mark tersenyum aneh. Seperti sedang tersipu malu. "Sebenarnya, aku tidak terlalu muluk-muluk. Bertemu ayahmu yang membantuku untuk kembali memperjuangkan hidup yang lebih baik sudah seperti keajaiban besar. Menikah? Hampir tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Tapi aku tetap menabung, untuk satu hal yang kunamai sebagai 'Impian Masa Depan', apapun itu. Sebelumnya, tidak spesifik seperti 'Menikah' atau 'Berbulan Madu'. Hanya gagasan abstrak yang tidak kuketahui pasti. Dan ternyata, takdir mempertemukanku denganmu lalu kita menikah. 'Mimpi Masa Depan' itu kini bernama 'Bulan Madu Bersama Clavina'."

Sudut-sudut bibirku melengkung naik mendengar itu. Selama beberapa degupan jantung, aku hanya terdiam kehabisan kata-kata.

Mark mengacak-acak rambutku, membuat lamunanku buyar seperti bunga dandelion ditiup angin. "Jangan melamun. Sudah, habiskan kebabnya. Aku suka melihatmu makan lahap."

In A Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang