48. The Deceitful Monster

1K 232 270
                                    

WARNING :

Chapter ini mengandung adegan kekerasan dan bahasa kasar.

.
.
.

Nathan memundurkan wajahnya dari telingaku, selama beberapa detik, ia menatapku dengan sorot mematikan. Tiba-tiba, sebelum aku sempat mengantisipasi, tangan kokohnnya berayun ke belakang dan mendaratkan sebuah pukulan keras di wajahku.

Telingaku berdenging bersamaan dengan rasa nyeri yang menjalari wajah hingga kepalaku. Pandanganku sempat memburam, namun perlahan mataku dapat melihat wujud Nathan lagi. Ia masih berdiri dengan agak membungkuk di hadapanku dengan mata berkilat-kilat.

Kepalaku berdenyut tajam. Aku mengusap cairan yang mengalir dari hidungku. Darah.

Air mataku jatuh. Rahangku terasa sakit saat digerakkan karena Nathan memukulku dengan kekuatan yang tidak main-main.

Nathan tersenyum licik. Ia meraih leherku dan aku merasakan kakiku terangkat dari lantai dengan begitu mudahnya. "Ayolah, Sayang. Jangan menangis. Permainan baru dimulai," gumamnya dengan suara rendah.

Aku berusaha keras melepaskan cengkeraman Nathan dari leherku. Napasku tercekat. Kedua kakiku mencoba kembali menapak. Aku terkesiap karena tiba-tiba Nathan membanting tubuhku ke lantai.

Gelombang kepanikan menerjangku menyadari Nathan kini sedang bergerak melepas ikat pinggangnya diiringi bunyi 'klik' yang mengancam. Aku berusaha menyeret tubuhku menjauh darinya, tapi nyeri di kepalaku membuat pandanganku langsung berkunang-kunang saat bergerak sedikit saja.

Nathan mencengkeram erat untaian ikat pinggang di tangannya, seperti memusatkan seluruh kemarahannya di sana. Mata abu-abu itu semakin menggelap, sepenuhnya tertancap padaku yang terduduk pasrah di lantai.

Aku terkesiap melihat Nathan mulai melecutkan ikat pinggangnya kuat-kuat kepadaku. Secara naluriah, aku langsung melindungi diri dengan kedua tangan sebagai tameng. Aku menjerit saat cambukan ikat pinggang berbahan kulit itu mendarat di lenganku, bagian ujungnya bahkan mengenai telinga kananku. Rasanya panas dan sakit sekali.

Nathan terus mengulangi perbuatannya hingga beberapa kali. Aku memekik setiap kali pecutan ikat pinggangnya menghantamku. Ia sama sekali tidak memberiku celah untuk bergerak. Ia terus menyerangku dengan brutal seolah aku telah melakukan kesalahan paling fatal. Setiap cambukan menjadi semakin keras dan semakin keras lagi, ia tidak peduli dengan pekikan yang keluar dari mulutku karena menahan perih dan sensasi seperti terbakar.

Nathan baru berhenti setelah puas meninggalkan luka memar di tubuhku. Ia berjongkok di hadapanku, napasnya agak terengah karena sedari tadi ia menyerangku dengan mengerahkan tenaganya.

Aku menatap Nathan pasrah. Tubuhku sudah lemas setelah serangan bertubu-tubi. Aku hanya membeku saat Nathan mengulurkan tangannya dan menyentuh daguku. Ia memiringkan kepala, tersenyum licik melihat sudut bibirku berdarah karena tadi lecutan ikat pinggangnya ada yang mengenai wajahku.

Pandanganku kembali berkunang. Aku berusaha keras mempertahankan kesadaranku yang menguap perlahan-lahan. Telingaku mendengar sayup-sayup suara motor mendekat. Aku tidak tahu apakah itu hanyalah imajinasiku karena aku sudah terlalu letih, atau memang begitu kenyataannya.

"Lihat dirimu," cibir Nathan. Ia menyeringai kecil. "Kurasa Mark akan langsung menghabisiku jika tahu aku melukai istri mungil tercintanya sampai seperti ini. Tapi ia tidak ada. Laki-laki bodoh itu malah meninggalkanmu sendirian." Jemari Nathan kini bergerak menyusuri rahang dan leherku. "Ia pasti lebih murka jika mengetahui apa yang akan kulakukan padamu selanjutnya."

In A Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang