7. The Silent House

1.6K 339 38
                                    

Kuputuskan untuk meletakkan dream catcher-ku di atas permukaan nakas yang hanya berisi alarm digital dan sebuah lampu tidur. Aku kemudian melangkahkan kakiku menapaki lantai kayu kamar yang mengkilap⸺dan juga memiliki bagian berderit, menghampiri jendela persegi yang tirainya ditarik terbuka, lalu berdiri memandang menembus kaca untuk mengetahui keadaan di luar.

Pohon ek tua yang tadi kulihat ternyata menaungi jendela kamar ini. Batangnya besar sekali dan berbonggol-bonggol. Area tanah di bawah cabang dan dedaunan rimbunnya terlihat lebih gelap, mungkin karena jarang tersentuh cahaya matahari.

Tidak banyak yang bisa kulihat dari jendela ini. Hanya hamparan hutan luas dan bukit-bukit berkabut di kejauhan. Aku mulai merasa bosan setelah beberapa saat. Saran Mark untuk berendam air hangat terlintas kembali dalam benakku. Sepertinya, tidak ada salahnya mencoba. Mungkin itu akan membuat tubuh dan pikiranku menjadi lebih rileks.

Namun sebelum itu, tatapanku mendarat pada lemari kayu yang tadi dibicarakan Mark. Kubuka pintu sebelah kanan dengan gerakan ragu-ragu, rasanya seperti sedang menyentuh barang-barang milik orang lain dan aku merasa buruk karena itu.

Tapi tidak, situasinya tidak benar-benar begitu.

Isi dari lemari sebelah kanan membuatku terkejut. Mark sudah mempersiapkan cukup banyak pakaian untukku di sini. Beberapa potong gaun sederhana, piyama, kardigan, sweter, syal, kaos kaki, hingga mukena. Aku tidak bisa membayangkan Mark pergi sendirian ke supermarket dan membeli cukup banyak pakian perempuan. Hal itu membuatku merasa semakin rikuh.

Aku tidak tahu harus mengenakan apa malam ini, jadi kukeluarkan gaun panjang bahan katun dengan motif bunga-bunga daisy mungil dan sebuah kardigan rajut polos warna lilac. Kombinasi sederhana yang tidak terlihat 'terlalu malas-malasan' namun membuatku tetap hangat. Aku tidak tahu bagaimana kode berpakaian di rumah ini, namun aku tidak akan makan malam mengenakan piyama. Itu terasa agak tidak sopan.

Aku membawa pakaianku ke kamar mandi, memutuskan untuk mengenakannya di sana saja. Setelah menyalakan lampu kamar mandi, aku mengunci pintu di belakangku dan menyandarkan punggung di sana selama beberapa detik sembari memeluk gulungan-gulungan pakaian.

Kedua mataku mengedar menyapu ruangan yang beraroma maskulin. Benda yang berada paling dekat denganku adalah sebuah cermin besar dan wastafel di tengah instalasi meja kayu bergaya rustic dengan tiga buah laci di bawahnya. Ada beberapa benda ditata di atas meja itu; sikat dan pasta gigi, pisau cukur bertenaga baterai, shaving cream, sabun pencuci wajah, parfum laki-laki dengan kemasan botol kaca hitam yang isinya tinggal setengah, dan peralatan-peralatan mandi yang juga berada di situ seperti ssampo dan sabun mandi.

Di sisi lain meja, terdapat serangkaian sabun pencuci wajah, sabun mandi, dan sampo di sana yang kemasannya belum terbuka. Khusus untuk perempuan. Ada pula beberapa butir bath bomb berwarna kuning, pink, jingga, serta ungu muda seukuran jeruk limau di dalam kotak kayu berwarna kecokelatan. Aku langsung tahu semua itu untuk siapa.

Aku teringat di kamar tidak ada meja rias. Jadi, setelah meletakkan pakaianku di tempat kering, aku membuka laci-laci di bawah wastafel. Aku menemukan obat-obatan dan kotak P3K di dalam laci pertama. Sisir-sisir (tentunya ada sisir baru untukku yang bentuknya sangat feminin), serta pengering rambut di laci kedua. Lalu, handuk-handuk di laci paling bawah.

Kuraih satu buah bath bomb aroma buah persik dan mulai menyalakan keran air hangat untuk mengisi bathtub yang posisinya berseberangan dengan bilik shower berkaca buram. Busa-busa harum berwarna jingga kemerahan langsung mengisi bathtub saat butiran bath bomb kujatuhkan ke dalam air. Aku langsung melangkah masuk setelah melepas pakaian dan melihat busa-busa sudah cukup banyak untuk berendam.

In A Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang