51. London

1.2K 226 186
                                    

Setelah beristirahat total selama hampir seminggu lamanya, akhirnya kondisiku pulih dan aku bisa beraktivitas secara normal lagi. Aku bersemangat sekali, karena dengan membaiknya keadaanku, Mark akan mengajakku bersepeda dan makan es krim.

Tapi ternyata aku salah. Bukannya menepati janjinya untuk bersepeda bersama menikmati jalanan asri di dekat rumah dan menikmati es krim di Mountain Creamery, Mark malah langsung memboyongku ke London. Ia jadi tidak tertarik lagi dengan 'agenda' selain itu.

Yang lain bisa ditunda, katanya.

Kami sudah selesai memberikan keterangan kepada polisi terkait kasus Nathan dan baru akan menghadiri sidangnya paling cepat bulan depan. Jadi, tidak ada alasan untuk menunda-nunda bulan madu. Itu kata Mark juga.

Saat penerbangan tadi, aku masih cukup merasa takut. Tapi Mark terus menggenggam tanganku sehingga aku merasa jauh lebih tenang. Ia juga sesekali merangkul dan mengusap bahuku untuk mengalihkan pikiranku dari hal-hal menakutkan. Karenanya, perjalanan tadi terasa lebih mudah. Bahkan nyaman.

Mark tidak pernah gagal membuatku merasa aman dengan caranya sendiri.

Aku merasa lega luar biasa ketika akhirnya bisa menapakkan kaki di London. Kota ini luar biasa, bahkan jauh lebih mengagumkan dari apa yang kubayangkan dalam kepalaku selama ini, meski cuacanya jauh lebih muram dibandingkan dengan Woodstock. Namun kekagumanku tidak bertahan lama, aku mulai disambangi rasa gugup karena kini aku dan Mark sudah tiba di hotel.

Kutatap pantulan diriku di cermin dinding lift yang sedang bergerak naik mengantarkan kami ke lantai di mana kamar kami berada. Aku terlihat kecil sekali berdiri di samping Mark. Rambutku agak kusut karena perjalanan jauh.

Tanganku memeluk jaket Mark karena ia membantuku membawakan koper-koper kami. Aku tidak habis pikir, cuaca padahal sedang dingin tapi Mark malah melepas jaketnya. Dua kancing teratas kemejanya juga dibiarkan terbuka.


Mark ini sebenarnya tidak punya sensor rasa dingin atau bagaimana?

Mark ikut melihat pantulan cermin lift. Ia tersenyum menyadari perbedaan mencolok ukuran tubuh kami. Tiba-tiba, tangannya mendarat di atas kepalaku dan mengacak-acak lembut rambutku dengan gemas.

Pintu lift terbuka diiringi bunyi denting kecil. Mark mempersilakanku melangkah keluar terlebih dahulu. Setelah itu, aku berjalan mengikutinya karena aku tidak tahu kamar kami berada di mana. Sebenarnya, aku bahkan tidak tahu apa-apa tentang seluruh rencana bulan madu ini. Mark tidak memberitahuku kami akan tinggal di mana, pergi ke mana saja, akan berapa lama, dan sebagainya. Ia hanya ingin aku mempercayainya. Semuanya 100% kejutan.

Mark menempelkan cardlock ke sensor pintu lalu memutar kenopnya setelah terdengar bunyi denting kecil lagi. Ia menyalakan lampu dan melemparkan senyum simpul kepadaku yang masih berdiri kaku di depan pintu. "Silakan masuk, Nyonya Evano."

Aku terpana melihat suasana living room yang menyambutku. Ruang dapur elegan berada di seberangnya, dipisahkan oleh sebuah sekat. Sama sekali tidak terpikir olehku bahwa Mark akan memesan suite semewah ini untuk bulan madu kami.

Ya ampun...

Ketika aku sedang sibuk terbengong, Mark mengambil jaketnya dari pelukanku lalu meletakannya ke tiang gantungan. Selanjutnya, ia membantuku melepaskan mantelku secara perlahan dari belakang. Jantungku mulai berdegup cepat.

Mark membalikkan tubuhku agar berdiri menghadapnya. Ia mengusap lembut bahuku seraya tersenyum. "Lelah, ya?"

Aku menatap Mark dengan gugup. Entah mengapa, malam ini ia terlihat lebih tampan. Rambut hitam pekatnya sudah dipotong rapi, membuatnya terlihat segar meski kemejanya agak acak-acakan sekarang.

In A Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang