19. October 1st

1.2K 295 48
                                    

Mendengar pintu mengayun terbuka, kuangkat wajahku dari lembaran majalah National Geographic yang tengah kubaca dua puluh menit terakhir. Mark berdiri di ambang pintu kamar sambil memegangi ponselnya.

"Bisa kita bicara sebentar?" Air muka Mark tampak serius.

"Tentu." Aku menegakkan posisi duduk dan meletakkan majalahku ke tengah tempat tidur.

Mark duduk di hadapanku. Kedua kakinya menapak di lantai dan tangannya mempermainkan ponselnya. Aku memperhatikan retakan horizontal pada layar benda hitam persegi panjang itu.

"Seorang wartawan baru saja menghubungiku dan bertanya tentangmu." Mark memulai. Ia sempat melirik majalah National Geographic yang tergeletak di sampingku. Sudut bibirnya samar-samar tertarik naik mengetahui aku sedang membaca artikel dengan ilustrasi foto hasil jepretannya.

Keningku berkerut heran. Untuk apa seorang wartawan menanyakan tentang diriku? "Aku?"

Mark mengangguk. "Ia ingin mewawancaraimu." Mark berhenti sejenak, lalu memulai kalimat berikutnya dengan berhati-hati. "Fakta bahwa kau adalah satu-satunya korban selamat dari kecelakaan pesawat menarik perhatian media lokal. Banyak yang menginginkanmu menceritakan sedikit tentang kejadian yang kaualami, dan bagaimana keadaanmu sekarang."

Aku menelan ludah. Sensasi tidak nyaman perlahan menjalari seputaran tengkuk dan turun ke perutku. "Dan apa yang kaukatakan pada wartawan itu?"

"Aku mengatakan bahwa aku harus bertanya kepadamu terlebih dahulu apakah kau benar-benar ingin melakukannya."

Aku menunduk memandangi kuku-kukuku sembari manelan ludah lagi. Insiden kecelakaan pesawat itu adalah hal yang paling ingin kulupakan. Aku tidak ingin mengingat-ingatnya lagi dengan membicarakannya. Hal itu hanya akan menarik keluar rasa traumaku.

"Mark, apakah tidak apa jika aku menolak?" tanyaku lirih. "Aku tidak yakin bisa melakukan wawancara ini. Aku tidak ingin membicarakan tragedi itu lagi."

Mark menatapku lembut, ia tersenyum memahami. "Tentu saja, Clavina. Kau tidak perlu melakukan apa pun yang tak kauinginkan. Aku akan memberitahu wartawan itu."

"Terima kasih untuk pengertianmu." Aku menatap Mark lekat, merasa sangat lega.

Mark balas menatapku dalam. "Clavina, ini bukan tentangku. Aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu."

Aku terdiam selama beberapa saat. "Kenapa wartawan itu menghubungimu? Bagaimana ia bisa tahu bahwa kita... bersama?"

"Ayolah, ini kota kecil. Berita macam apa pun akan tersebar cepat seperti tinta yang diteteskan ke dalam air tenang." Mark bergumam sembari memasukkan ponselnya ke kantong jaket.

Ucapan Mark ada benarnya juga. Di wilayah berpenduduk kecil seperti ini, semua kabar mudah terdengar.

"Ngomong-ngomong, hari sedang cerah." Mark melirik jendela kamar sekilas. "Bagaimana jika kita memotret? Tidak usah jauh-jauh, di hutan dekat pekarangan samping saja. Sesemakan blackberry juga sepertinya masih banyak yang matang, sisa musim panas lalu."

Aku langsung mengangguk setuju. Kebetulan aku sedang ingin sekali jalan-jalan. "Oke."

Setelah memakai baju hangat, Mark langsung mengajakku ke studionya untuk memilih kamera yang akan kami gunakan. Aku tidak tahu banyak tentang kamera, jadi aku agak bingung.

"Aku tidak punya keahlian memotret, jadi aku pakai kamera Polaroid saja." Aku akhirnya memutuskan setelah memandang lama kamera Polaroid yang berada di ujung rak.

Mark mengenyitkan dahi. "Kukira kita akan memotret untuk mencetaknya di dark room lagi. Tapi kau malah memilih kamera Polaroid."

"Kita mencetak hasil jepretanmu saja." Aku tidak akan berubah pikiran.

In A Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang