49. Sanctuary in His Arms

1.1K 237 195
                                    

"Jangan bergerak!"

Di sela gelombang rasa sakit, telingaku mendengar rentetan suara yang datang secara silih berganti; derap kaki, sirine polisi yang terus meraung, bunyi borgol yang dipasang secara paksa, dan serangkaian upaya perlawanan yang diberikan Nathan.

Keributan diakhiri dengan suara polisi yang menyeret Nathan keluar. Semua seperti berlangsung dalam gerakan lambat dan samar. Sementara itu, kesadaranku seperti menguap perlahan-lahan bersamaan dengan sengatan nyeri luar biasa yang berpusat di luka yang terus ditekan Mark kuat-kuat.

Sekujur tubuhku mulai terasa dingin, namun perih dari luka-luka cambukan yang ditinggalkan Nathan sama sekali tidak memudar. Rahangku masih terasa nyeri, kepalaku tidak berhenti berdenyut akibat benturan berkali-kali beberapa saat yang lalu.

Aku terbaring di pangkuan Mark. Ia menunduk menatapku dengan sorot ketakutan tak tergambarkan.

"Clavina... maaf..." Mark meneteskan air mata. Bahunya bergetar. Suara beratnya terdengar serak sekali.

Jantungku yang sedang berpacu keras kini terasa semakin tidak karuan melihat pemandangan di hadapanku. Ini adalah kali pertama aku melihat Mark menangis. Ia belum pernah terlihat setakut dan sesedih ini.

Aku mengangkat tanganku yang gemetaran, kusentuh wajah Mark dengan lembut dan perlahan menghapus air matanya. "Mark..."

Rahang Mark mengetat, matanya yang basah tampak putus asa. Ia seperti tengah merasakan kemarahan terhadap dirinya sendiri. "Aku gagal..." gumam Mark. "Aku gagal melindungimu, Clavina."

Aku menggeleng lemah. Kutatap dalam kedua manik biru Mark yang terasa mendamaikan. Tanganku berpegangan erat pada dadanya. "Tidak, Mark. Kau tidak gagal..." desahku dengan sisa suara yang kumiliki. "Kita harus melindungi satu sama lain, bukan hanya kau. Dan kali ini adalah giliranku."

"Tidak, Clavina. Tidak boleh. Kau tidak boleh melakukan ini!" Mark terdengar seperti sedang merancau. Matanya berkilat oleh rasa kalut. Ia memelukku semakin erat. "Aku tidak ingin kehilanganmu."

Tubuhku terus disiksa rasa sakit yang sama sekali tidak memberi jeda. Namun entah mengapa, berbaring dalam dekapan Mark membuat seluruh siksaan di sekujur tubuhku seolah terbayarkan. Aku tidak peduli. Aku rela menanggung semua ini asalkan aku bisa berada dalam pelukan yang sempat direnggut dariku ini. Pelukan yang memberiku rasa aman, damai, dan segala hal yang pernah kubutuhkan dalam hidup.

Napasku terasa semakin sesak. Dahaga luar biasa menyerangku karena darah yang keluar dari tubuhku semakin banyak seiring dengan detik yang berlalu. Tanganku yang tadinya berpegangan pada dada Mark kini jatuh terkulai. Aku berusaha keras mempertahankan kesadaranku. Aku ingin bisa melihat Mark selama mungkin.

Jika ini memang hari terakhirku, aku ingin wajah Mark adalah yang terakhir kulihat.

"Kumohon bertahanlah, Clavina. Bantuan akan segera datang." Mark terlihat kian panik. Air matanya terus bercucuran. Ia semakin keras menahan darah yang mengalir dari luka di punggungku. Tangannya terasa panas dan basah. "Aku pulang untukmu, kau tidak boleh meninggalkanku."

Jantungku berdegup liar, dadaku terasa terbakar karena aku tidak bisa menahan kencangnya tempo pusat pemompa darahku. Dahagaku semakin menjadi, aku mulai tidak mampu mengatasinya.

Air mata mengalir deras dari ujung mataku. Kerongkonganku kering kerontang. Setiap tarikan napas yang kuupayakan terasa luar biasa menyakitkan.

Mark kian membungkuk agar semakin dekat denganku. Ia tahu keadaanku semakin memburuk. "Clavina... Sayang... tetaplah bersamaku." Ia mencoba menenangkanku sekaligus berupaya menyalurkan kekuatan.

Mataku mengerjap beberapa kali. Seluruh sendiku terasa berat. Aku lelah sekali. Sangat lelah.

Mark menatapku lekat-lekat. "Clavina," Ia memanggil namaku agar aku terus tersadar. "Tetaplah bersamaku. Kumohon, tetaplah bersamaku."

In A Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang