44. Gone Too Soon

895 227 218
                                    

Aku menggeliat pelan, mataku mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya terbuka. Suasana kamar terasa hening. Tubuhku terbaring di atas tempat tidur dengan selimut menyelubungiku hingga sebatas perut.

Dadaku terasa sesak dan berat, seperti baru mengalami mimpi buruk yang panjang. Gelenyar dingin merambati kakiku dan menjalar hingga seluruh tubuh seperti sisa-sisa pelukan dingin dari kesedihan.

Aku beringsut bangun. Denyut di belakang kepalaku membuatku mengernyit.

Kuhela napas dalam-dalam.

Hanya mimpi.

Mataku mengedar perlahan, lalu berhenti pada jam weker di atas nakas. Sudah hampir pukul tujuh. Aku harus segera bersiap-siap, Mark akan segera pulang beberapa jam lagi.

Aku melesat ke kamar mandi lalu menggosok dan mencuci wajah cepat-cepat. Mataku sembab, seperti ada yang tidak benar. Tubuhku terasa digelayuti sesuatu yang menyuntikkan kesedihan ke inti jantungku.

Kulirik ponselku sekilas saat aku kembali ke kamar, entah mengapa aku tidak ingin menyentuh benda itu. Tidak sekarang.

Aku berlari turun menuju dapur, aku akan melakukan yang terbaik untuk membuat kejutan ini. Kepulangan dan kesuksesan Mark harus dirayakan.

Langkahku terhenti saat melihat ada yang salah dengan pintu depan, seperti baru dibuka secara paksa. Aku langsung mempercepat langkahku menuju dapur.

Jantungku seperti berhenti berdegup. Teresa dan Leo berada di dapur, duduk bersisian di meja makan. Ada yang salah, mereka tampak bersedih. Mereka langsung menoleh melihat kedatanganku.

Teresa tiba-tiba menangis. "Clavina..."

Aku membeku. Rasa cemas, bingung, dan takut merangkak naik ke sepanjang tulang belakangku.

Teresa bangkit dari tempat duduknya. "Kau sudah sadar..."

Mataku mengerjap beberapa kali untuk menyingkirkan kabut tebal yang menenggelamkan benakku. "Apa maksudmu? Dan apa yang kalian lakukan di sini?"

Aku melirik Leo, ia yang biasanya ceria tiba-tiba terdiam. Matanya menyiratkan sesuatu yang terlihat seperti duka.

Teresa terlihat semakin bersedih melihat sikapku. Ia tiba-tiba memelukku erat. "Aku turut berduka, Clavina."

Aku mematung selama beberapa detik sebelum melangkah mundur. "Berduka untuk siapa?"

Kulirik Leo untuk menuntut penjelasan, namun ia memutus temu tatap kami dan memilih menunduk.

"Clavina..." Suara Teresa terdengar bergetar. "Mark.. ia... sudah pergi."

Kepalaku menggeleng penuh penyangkalan. "Tidak, Teresa! Aku hanya bermimpi. Mark akan segera pulang. Beberapa kali ia memang pernah terlambat, tapi ia akan pulang." Bulir air mataku jatuh, mengkhianati keyakinan kecil yang berusaha kugenggam erat.

Teresa memandangku penuh rasa iba. Air matanya terus mengalir, membuat wajahnya terlihat kemerahan. "Maafkan aku, tapi kau tidak bermimpi. Kami menelepon ke nomor Mark, kami mendapatkan semua penjelasannya. Kabar yang juga kau terima pagi tadi."

Kubungkam mulutku. Kesadaran telak menghantamku seperti pukulan benda keras berduri. Aku jatuh berlutut di atas lantai dapur.

Aku tidak bermimpi. Luka ini nyata.

Teresa menghampiriku dan memelukku erat untuk menenangkan tangisku yang tidak terbendung lagi.

Aku hancur lebur.

Separuh nyawaku dibawa pergi.

"Mark tidak pantas menerima semua ini, Teresa. Ia orang baik..." rintihku di sela isak tangis. "Semesta terlalu kejam kepadanya. Ia ingin pulang, Teresa. Ia hanya ingin pulang."

In A Rainy Autumn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang