(21). Dude

318 68 10
                                    



⚠Hati-hati Typo⚠
Happy reading!



































Udah tiga minggu berlalu sejak Jaeden tinggal di sebuah rumah kepunyaan kepala dusun di desa Merah kepulauan Dawai nun jauh dari ibu kota dan segala hirup pikuknya. Jaeden ngerasa suasana berangsur memburuk sejak banyaknya jurnalis yang datang ke pulau itu bahkan para polisi udah banyak di sana. Tapi sayangnya beberapa oknum di antaranya malah memihak pihak yang salah, yang bikin Jaeden semakin terpojok di pulau itu.

Di tengah keterdiamannya, Jaeden yang emang sehari-hari tidur di teras rumah panggung kepala dusun itu bisa bebas mandang langit bertabur bintang. Pelan tangannya sedikit demi sedikit nyentuh sesuatu yang tergantung di lehernya, bandulan cincin berukir nama sosok yang bikin dia gak tenang selama di sana cuma Jae tatap dengan bingung.

Wendy adalah puzzle terbesar yang datang di hidupnya setelah Jae berusaha buat acuh selama 5 tahun hidupnya. Gak nyari tau apapun dan cuma berusaha beradaptasi sama kekosongan yang dia simpen jauh di lubuk hatinya. Berusaha buat relain sesuatu yang hilang di hidupnya dan berdedikasi sama kerjaannya ternyata itu sama sekali bukan cara yang bener di lakuin.

Semua rasa penasarannya menumpuk dan sering bikin dadanya sakit karena semua memori itu sering tiba-tiba melintas sejak Wendy nyoba masuk ke hidupnya.

Jae harus nahan sampe semua kerjaannya di pulau itu selesai.

"Belum tidur, Kak?" Tanya seseorang yang keluar dari dalem rumah kepala dusun, namanya Rona, anak gadis kepala dusun. Umurnya baru awal 20 dan beliau kuliah di luar pulau tapi kebetulan dia lagi di masa liburnya sampe 2 bulan ke depan.

"Belum," Jae ngulas senyumnya, "kamu kenapa belum tidur? Ini udah mau jam 2 pagi," kata Jae setelah ngeliat arlojinya.

"Aku gak bisa tidur tenang sejak pertambangan liar hampir bikin pulau kami habis," Rona duduk di samping Jae yang juga udah ikut duduk. Semilir angin dari laut yang berjarak sekitar 50 meter di depan mereka makin kerasa dingin di malem hari.

Jae nganggukin kepalanya, matanya natap ke arah pohon kelapa yang daunnya bergerak lincah di terpa angin, "aku ngerti, kerusakan alam yang parah di sini, di tempat kamu lahir dan di besarkan udah melebihi kata parah itu sendiri. Pasti rasanya gak tenang ngeliat semua hal berubah jadi seburuk ini dalam waktu 3 tahun," Jae natap Rona dan mata sedihnya, "bahkan aku sebagai orang asing juga ngerasain hal yang sama, sakit ngeliat alam yang indah di rusak sama tangan-tangan gak bertanggung jawab."

"Aku harap semua bencana ini segera berakhir," Rona ngusap matanya yang udah basah, "aku harap dengan kedatangan Kakak ke sini dan nantinya ngasih tau ke semua orang tentang keadaan pulau ini bikin pemerintah tergerak dan ngelakuin sesuatu buat ngatasin kekacauan ini."

"Pasti, aku usahain, kamu harus percaya kalo semua masalah lingkungan ini bisa di atasin," Jae ngangguk sambil senyum. Dia harus ngasih kepercayaan diri ke orang di pulau yang nyaris tenggelam itu.

































****





















Pagi harinya, sekitar jam 10 Jae udah stay sama beberapa jurnalis lokal maupun luar daerah yang juga keliatan gak kalah kelingnya dari Jae.
Pulau Dawai itu panas, panasnya sampe Jae harus bawa seliter air di tas selempangnya karena kalo enggak Jae rasa dia bakalan kena dehidrasi parah.


Jurnalis J ( Jae x Wendy ) ✔Where stories live. Discover now