Aku jadi mengingat tujuanku datang ke sini. Gara-gara ngomongin Ananta jadi lupa. Aku mengeluarkan sesuatu dari dalam tas dan mengacungkannya pada Ersa.

"Apa itu?" tanyanya.

"Undangan reuni sekolah."

"Wow. Ini adalah ajang memamerkan kebanggaan." Ersa meraih undangan itu.

"Dan, gue nggak punya kebanggaan yang perlu dipamerkan. Di usia gue sekarang ini, harusnya paling enggak gue udah punya suami dan satu anak yang lucu." Aku memutar bola mata, lantas mendesah.

"Lo bisa dapetin itu semua kalau elo mau diajak nikah sama Wishnu dulu."  Kembali ke Wishnu lagi. Please, deh. Dia sudah berbahagia sekarang.

"Jangan bahas dia lagi. Dia udah bahagia dengan istri dan bayinya."

"Wah, dia udah punya baby? Ya ampun, Lil. Kalau lo dulu sama dia pasti tiap ke sini lo gendong baby lucu." Ersa berbinar-binar. Aku tahu bayangannya pasti sudah melantur. "Kadang gue mikir bego lo itu akutnya nggak ketulungan. Dilamar Wishnu ogah, sama Rafael nggak mau. Malah lebih pilih jadi jomlo suram kayak gini."

Aku mendelik tak terima. Sembarangan dia ngatain aku jomlo suram. Lantas dirinya apa?
"Gue ke sini tuh mau minta pendapat lo soal reunian itu, bukan minta hujatan dari lo."

Ersa tergelak. Tampangnya puas banget lihat aku kesal. "Sori, hihi."

Dia kembali fokus ke undangan yang tadi sempat ia buka. "Lil, ini reunian SMA lo? Gue kira reunian SD."

Kali ini aku memutar bola mata malas tidak menaggapi.

"Reunian SMA, itu artinya Rafael juga dong. Wah! Lil, lo bakal ketemu Rafael!" seru Ersa histeris seolah dia baru mendapatkan doorprize lomba balap karung.

"Cuma reunian, itu nggak penting buat orang yang sibuk kayak dia." Nggak worth it banget dia ninggalin bisnis demi reuni.

"Reuni ini bakal nggak penting buat dia kalau lo nggak datang, Lila," terang Ersa.

"Tapi jelas nggak mungkin dia jauh-jauh dari Surabaya ke Jakarta cuma buat menghadiri acara reunian. Macam nggak ada kerjaan aja." Aku bersikeras.

"Jelasnya lo mau dateng enggak?"

Aku masih menimang-nimang. Di sekolah dulu aku bukan anak yang populer. Aku bahkan tidak yakin akan ada yang mengingatku. Prestasiku tidak ada, aktif eskul juga tidak. Teman yang mengenalku bisa dihitung dengan jari. Bahkan saat masih sekolah, meraka sering lupa dengan namaku. Apa lagi sekarang sudah sepuluh tahun berlalu. Intinya aku ini manusia tak kasat mata bagi mereka. Menyedihkan.

Di saat orang-orang menganggap masa putih abu-abu adalah masa terindah, aku malah menganggap itu masa tersuram. Iya, sebelum aku mengenal Rafael beberapa bulan sebelum kelulusan. Singkat namun berkesan.

Tidak sadar, bibirku melengkung mengingat Rafael. Laki-laki itu sedang apa ya sekarang? Tidak menyangka dia bisa memegang teguh ucapannya untuk tidak menghubungiku. Apa mungkin sekarang dia sudah melupakan aku? Jika aku datang ke reuni itu, mungkinkah aku bisa bertemu dia kembali?

"Mungkin ... gue dateng." Aku masih membayangkan wajah Rafael saat memberi jawaban pertanyaan Ersa. Hingga wanita yang sudah lama menjadi sahabatku itu menyadarkan punggungnya dan melihatku seksama.

"Gue nggak perlu nemenin elo, 'kan?"

"Enggak lah, emang gue anak balita yang ke mana-mana harus ditemenin," decakku.

"Kehidupan remaja lo kan nggak asik, lebih banyak dihabiskan buat baca buku timbang ngumpul bareng temen. Kali aja di sana lo ntar plonga plonga nggak punya teman ngobrol."

Sialan Ersa. Kalau ngomong suka tepat banget. Tapi, aku sekarang tidak minderan seperti dulu. Bergaul dengan Ersa membuat rasa percaya diriku tumbuh. Aku benar-benar merasakan itu.

"Gue nggak peduli sih mau ada yang ngajak ngobrol aku atau enggak. Gue cuma mau setor muka aja kalau ternyata gue masih diakui jadi alumni SMA Garuda."

"Menyedihkan banget." Ersa menggeleng.

Meskipun itu kemungkinannya kecil, aku berharap bisa bertemu Rafael di sana.

***

"Mbak Lila!" setengah berlari Milan menuju ke arahku. Kenapa dia ada di kafe Ersa? Bukannya dia sudah resign? Dengar-dengar dia sudah diterima di perusahaan bonafit. Tapi melihat apron yang melekat di badannya, tidak mungkin kan dia kembali kerja di sini?

"Milan? Kok kamu di sini?" tanyaku saat lelaki itu sampai di depanku. Senyumnya masih sama manisnya dari yang kemarin-kemarin.

"Mbak Lila, apa kabar? Lama nggak ketemu."

Bukannya menjawab pertanyaanku dia malah bertanya.

"Aku baik, Milan. Kamu kenapa ada di sini? Bukannya kamu udah nggak kerja di sini lagi?"

"Aku kangen tempat ini. Jadi, iseng aja datang membantu. Siapa tau kan, ketemu Mbak Lila di sini. Eh ternyata beneran ketemu."

Aku menggaruk pelipisku yang tak gatal. "Memangnya kamu mau apa kalau ketemu?"

"Kalau Mbak mau, aku ingin mengajak Mbak Lila makan malam."

Wow, mataku melebar. Rupanya Milan lebih berani dari yang aku duga. Apa mungkin karena sekarang dia sudah lulus kuliah dan bekerja di tempat yang mampu memberinya gaji lumayan besar?

"Kapan, Milan? Kalau sekarang aku nggak bisa, masih ada urusan di luar." Aku pura-pura menengok jam tangan. Menunjukkan padanya bahwa waktu yang aku punya hanya sedikit.

"Oh, Mbak Lila bisanya kapan?"

"Duh kapan yaa ... Nggak bisa janji sih aku."

"Ya udah, nanti aku hubungi Mbak lagi aja kalau gitu."

"Sori ya, aku beneran harus buru-buru. Bye, Milan."

Bukannya aku tak melihat raut kecewa di wajah lelaki itu. Sudah cukup aku bermain-main. Umurku sudah bukan waktunya lagi untuk itu. Aku sudah harus memikirkan masa depan.

Tinggal beberapa bab lagi In Between tamat ya, Gaes. Jadi, stay tune jangan ke mana-mana dan tetap ramaikan. Yuhhuuu....

Thx buat bintang kemarin, so hari ini aku up lagi.

In Between 1 (END)Where stories live. Discover now