17. Harusnya kita Nggak Pernah Kenal.

135 16 8
                                    

Langit sedang bersahabat saat ini, warna jingga yang begitu sempurna terpajang manis dengan bingkai putih sebagai penghias.

Katanya waktu tidak bisa kembali menjadi utuh, jika ingin, mungkin sudah berharap sejak lama. Jantungnya seperti tak berdetak, paru-parunya seperti kehilangan oksigen, bahkan saat pandang matanya kabur berubah menjadi hitam.

Ia kembali dalam sadarnya setelah menghabiskan hampir satu jam lebih untuk sekadar mati suri. Serak suaranya telah mengambil alih semua kesadaran dua orang lelaki yang menunggunya. Ada banyak tanya, tapi tak satu pun yang terlontar. Lidahnya begitu kelu, terlebih saat anak itu menemukan wajah sendu yang tidak biasa dari salah satu kedua lelaki di hadapannya.

"Kenapa? Apa gue salah lagi?"

"Ya. Dari lahir, kayaknya Lo emang suka banget buat gue khawatir."

"Lo tahu... Gue ke sini, karena kabar dari temen Lo, andai Lo nggak bandel tadi pagi, sekarang nggak kayak gini. Lihat punggung tangan Lo, mau Lo apa sih, Ri?"

Pandang matanya beralih, kali ini tak ada lagi kata selain 'maaf' untuk semua kecemasan yang terjadi. Di hari yang sama, Faye telah meninggalkan banyak hal, mulai dari pelajaran, hingga waktu di mana ia bertemu dengan Aries.

Faye terlalu lemah, bahkan langkahnya tak lagi bisa membawa semua beban yang beberapa hari belakangan menyiksa isi kepalanya. Faye terlalu sering melihat Ardan sedih, hanya karena Aries. Aries begitu dekat, tapi tak tersentuh.

Bahkan ucapan Gusti begitu nyaring, sampai ia harus kehilangan kesadaran akibat terlalu lelah.

"Lo kecewa sama gue?"  Seharusnya Faye memilih diam dari pada harus melihat tatap kesal dari kakak tertuanya.

"Maaf," sambungnya. Faye tidak tahu apa yang harus ia katakan, ia hanya melihat kekecemasan yang begitu besar. Entah bagaimana caranya untuk menjelaskan pada Panji kalau dirinya menemui Aries di sekolah. 

"Gue denger, Papa ke sekolah, apa Lo ketemu sama Papa?"  Rasanya Faye sedang di Landa dilema sejak kemari karena Aries. Dan saat ini Panji benar-benar seperti seorang peramal yang mampu menebak isi kepalanya.

"Jangan tatap gue kayak gitu, tinggal jawab, iya atau nggak?"

Faye tidak akan berani membantah, ia mengakui kebenaran yang dilihatnya saat di sekolah. Bahkan pria itu membisikkan hal yang teramat pedih, sampai bernapas pun rasanya tak sanggup.

"Jawab yang bener. Di depan gue dan Yola sekarang. Kalau Ardan tahu, gue nggak bisa janji apapun lagi, Ri."

"Apalagi yang mau gue kasih tahu, Lo udah tahu semuanya Bang. Apa yang mau gue sembunyiin, Lo udah tahu segalanya. Bahkan Lo tau Papa datang ke sekolah, terus gue mau jelasin kayak gimana lagi?"

Panji memang tahu segalanya, tapi kali ini Panji tidak ingin berdebat, karena masalah Aries yang selalu membuatnya sakit kepala setiap saat. Setiap kali Ardan bertanya, dan setiap kali Faye memohon. Panji tidak melupakan semuanya.

Tidak ada hal lain untuk Panji, selain melihat Faye dan Ardan hidup dalam damai tanpa beban pikiran yang membuat mereka selalu serba salah.

☄️☄️

"Kak Ardan? Lo di sini? Sama siapa?" Ardan tersentak saat Faye melihatnya,  ketika dirinya sedang menonton kartun di ponselnya.  Rendah jarak Faye dan Ardan membuat anak itu sedikit kesulitan. Padahal ia sangat ingin memeluk Ardan. Tapi, ruang geraknya sangat terbatas untuk saat ini. Tubuhnya terasa begitu lemas, bahkan untuk berdiri sekali pun.

"Lo, ngagetin aja. Gue sama Pitter, Nakula, Kak Sabit, Abang chat gue, katanya Lo di rumah sakit karena pingsan. Jadi gue minta Pitter anter ke sini." Faye mengangguk. Ia juga tidak ingat kenapa dirinya bisa pingsan. Tapi Faye masih bisa mendengar suara teriak Benua, meski samar-samar. Tapi di mana dia?

ANCHOR ✅Where stories live. Discover now