15. Tempat Kembali?

146 14 2
                                    

Rumah? Seandainya Ardan memiliki tempat di hati Aries, mungkin ruang hatinya tak akan hampa seperti sekarang. Sejak kedatangan Aries beberapa waktu lalu, sikap Ardan sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Bahkan saat ini pun sama. Cowok itu benar-benar terdiam terlebih ketika melihat Aries ada di rumah sakit yang sama dengannya.

Pipinya begitu panas, saat tangan besar Aries menyentuh kulitnya. Sedangkan Panji sudah setengah mati menahan emosi saat cowok itu memaksakan diri untuk tetap bertemu dengan istri baru Papanya.

Kini mereka benar-benar berada di dalam satu ruangan yang sama, dengan sosok wanita yang bersandar lemah di atas brankarnya.

Teguk salivah yang sejak tadi Ardan telan membuatnya gugup, bagaimana bisa Aries menikahi seorang wanita yang jelas-jelas sudah memiliki dua orang anak, yang salah satunya saat ini telah menyandang status sebagai kakak iparnya.

"Kamu, Algis?" tanya wanita itu, tak lepas dari senyum yang terpatri dari wajahnya. Ardan mengangguk, setelahnya Ardan pun mendongak menatap Panji yang berdiri di belakanganya.

"Saya senang bertemu dengan kamu, tepat seperti yang anak saya ceritakan. Kamu manis," ucap Wanita itu, kemudian pandangnya beralih pada Panji yang enggan untuk menyapa atau mengatakan apa pun. Sementara Aries, pria itu masih duduk setia di sebelah istrinya, sambil menggenggam jemari kurus yang saat ini terpasang infus di atas punggung tangannya.

"Anak kamu tampan, Mas. Di mana yang bungsu? Dia nggak ikut kalian?"

"Dia lagi sekolah, sama seperti Rian. Sekarang kamu istirahat, oke?" Kali ini Aries mengintrupsi, senyum wanita itu sama sekali tak luntur, bahkan genggam tangan itu terbalas kemudian mengusapnya begitu lembut.

"Aku baik-baik saja, Mas. lagi pula aku ingin melihat mereka, aku Ingin mengenalnya, karena  putriku menikah degannya, aku ingin melihat Yola, bawa dia ke sini."

"Segera, tapi kamu harus pulih dulu."

Wanita itu mengangguk, ia sudah dua kali masuk rumah sakit karena sering sekali mengalami keram di bagian perut. Setelahnya wanita itu pun kembali menoleh, melihat Ardan dengan tangannya yang menggenggam erat tangan milik Panji.

"Saya belum berkenalan dengan kalian, saya Yusra, meski kalian belum mau memanggil saya Bunda, saya tidak masalah, tapi bisa kah kalian berkunjung ke rumah kami? Terutama, kamu, Panji."

Mendengarnya berbicara jelas Panji sangat jengkel, seolah tak pernah merasa bersalah. Dulu mereka melakukan pengkhianatan tanpa memikirkan perasaan anak-anaknya. Sementara di sini, mereka seperti orang yang yang paling tersakiti, Panji sangat benci melihat kepolosan yang sama sekali tak berguna.

"Maaf, adik saya harus istirahat, jadi kami pamit pulang. Terima kasih tapi sekali lagi, maaf untuk Yola, saya rasa, saya tidak akan memberi akses apa pun termasuk kepada anda."

Setelahnya Panji memilih pergi sambil mendorong kursi roda yang kini menjadi satu-satunya alat untuk Ardan beraktivitas.

"Bang..." Panji menunduk, sebelum mereka benar-benar pergi dari sana, tepat di depan pintu kamar rawat Yusra. Panji mengubah posisinya kali ini berjongkok di hadapan Ardan. Kedua mata mereka saling bertemu, tapi yang Panji lihat justru tatap sendu yang Ardan berikan.

"Kenapa? Lo nggak suka gue ngomong kayak tadi? Kenapa sih Lo suka banget nyiksa diri? Lo nggak lihat Rion kemarin kayak gimana? Dia tersiksa, Gis, sama kayak Lo. Tapi tolong kontrol emosi kalian kalau lagi ketemu Papa, bisa?"

"Konseptual dari sebuah jarak itu adalah kepastian, Bang. Kalau kejelasannya aja nggak ada, terus tempat gue pulang harus ke mana lagi?" Ardan terdiam sejenak, memberi jeda cukup lama setelahnya kembali bersuara dengan nada yang cukup pelan.

ANCHOR ✅Where stories live. Discover now