08. Tak Sedarah

260 19 8
                                    

Katakan pada semesta kalau takdir itu memang nyata, bahkan dulu sebelum Pitter mengenal Ardan, ia hanya seorang anak laki-laki biasa yang cenderung pendiam. Namun, kini berbeda. Pitter telah menemukan dunianya, ia telah menemukan semangat untuk tetap berpijak di bumi meski kenyataan pahit akan selalu  berdatangan.

Pitter selalu berdoa pada Tuhan kelak ia ingin memiliki seorang adik, tapi Tuhan berberkehendak lain. Tuhan justru mengambilnya kembali sebelum benar-benar lahir ke dunia. Kini... doanya terkabul meski tidak sedarah, meski tidak lahir di rahim yang sama. Pitter akan tetap menyayangi Ardan sampai kapan pun.  Seperti hari ini ketika ia datang untuk menjembut sahabatnya. Cowok itu telah menyeringai lebar ketika Pitter datang, tak lupa satu lagi yang paling membahagiakan untuk Pitter setelag mengenal Ardan. Ia bisa melihat keributan ketiga jagoan Tante Alsha itu hampir setiap hari.

Ardan dan Faye adalah dua dari sekian banyak teman yang ia kenal. Namun rasa sayangnya tak pernah luntur untuk keduanya. Bahkan sepanjang perjalanan, Faye hanya mengoceh sebisa yang ia ingin. Entah titisan dari mana Faye itu. Yang ia tahu, Panji dan Ardan tidak secerewet Faye.

"Kak Jupi, lo kapan mau ngenalin gebetan ke gue?"

"Kenalin ke lo? Buat apa ? Yang ada gebetan gue lo pacarin lagi, ogah!"

"Dih, nggak gitu ceritanya. Alurnya nggak ada namanya seorang Rion ngambil gebetan orang jomlo kayak lo, Kak."

Pitter tidak akan pernah membahas topik apa pun jika Faye sudah membukanya dengan topik 'gebetan'. Baginya topik itu sangat menyebalkan, kalau saja Pitter tidak sayang pada Faye. Mungkin sudah ia  menurunkan Faye di tengah jalan saat ini. Untung saja Pitter sudah kelewat sayang pad keluarga Ardan, apalagi terhadap Ardan, dan kini rasa sayang itu terbagi dua dengan Faye. Biar pun begitu, Pitter tetap sayang pada keduanya.

"Kok berenti sih, Kak?"

Pitter menoleh ke kursi belakang, menatap Faye dengan senyum yang begitu manis.

"Orion sayang, lo emang nggak mau sekolah?"

"Emang udah sampai sekolah?"

"Lihat tuh di jendela kiri lo, dua makhluk misterius udah nunggu. Sana turun!"

Faye tak menyahut, ia mengikuti arah pandang Pitter dan Ardan yang menunjuk ke luar jendela. Ia terkekeh kemudian mengusap telungkuknya karena telah memarahi Pitter.

"Namanya Benua sama Pandu. Bukan makhluk gaib, apalagi makhluk jadi-jaidan kayak lo Kak Jupi, ewh, males banget liatnya. Kak Ardan, nanti titip salam buat adik manis yang di sana, ya? Awas kalau nggak di salamin, gue suntik ganteng lo, baru tau rasa," ucap Faye sebelum anak itu benar-benar keluar dari dalam mobil Pitter. Ardan tidak menanggapi, ia hanya menghela napas  setelahnya mengangguk kecil sebagai jawaban.

"Yaudah Kak, gue duluan mau nimba  ilmu biar makin ganteng, bye!"

Pitter tidak pemah mengerti mengapa Faye jauh lebih gila daripada Ardan dulu yang cenderung sedikit murung jika tidak ditanya.

"Adek lo bikin gue stres lama-lama, Gis," ucap Pitter setelah memastikan kalau Faye sudah masuk ke dalam gerbang sekolah bersama kedua temannya.

Pitter pun kembali melajukam mobilnya lalu kembali menoleh ke arah Ardan yang masih sibuk dengan ponselnya.

"Gis?"

"Apa sih, Ter? Gue lagi buat materi nih," sahutnya. Pitter mengangguk. Ia paham kalau Ardan tengah serius pasti ada sesuatu yang sedang ia kerjakan atau ia pikirkan.

"Masalah Rion, itu salah lo. Lo yang suka manjain jadi lo yang nanggung akibatnya," lanjut Ardan lagi. Pitter kembali mengangguk, tak lama decak kesal Ardan pun mengalihkan pandangan Pitter yang terfokus ke jalanan.

ANCHOR ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang