12. Patah

166 16 5
                                    

Faye tidak tuli untuk mendengar apa yang Aries katakan ketika pria itu datang menghampiri Ardan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Faye tidak tuli untuk mendengar apa yang Aries katakan ketika pria itu datang menghampiri Ardan. Ia tak sengaja melintas di sana untuk mencaei Pitter. Bukan Pitter yang ia dapat, justru perkataan pedas Aries yang membuatnya geram. Terlebih saat melihat Ardan yang diam tak melakukan perlawanan apa pun. Bahkan pria itu hampir membuat Ardan celaka. Ia pun melangkah setelah mendekati Ardan. Meski hanya dari sudut tapi Faye bisa melihat kalau Kakaknya sedang menangis.

Rasa yang selalu ia tutupi ketika melihat Ardan jauh lebih menyedihkan daripada rasa sakitnya saar ini. Ia tak bisa membayangkan berapa lamaa Ardan memendam rasa kecewa setiap kali melihat Aries, bukan untuk menemuinya.

Ia pun berhenti tepat di hadpaan Ardan. Faye pun berjongkok perlahan tangannya terulur menggenggam jemari Ardan yang bergetar. Faye sangat mengerti betapa sayangnya Ardan pada Aries.

"Nggak apa-apa, lo nggak salah kok, Kak. Papa aja yang lupa, kalau lo anaknya yang paling hebat."

"Dari dulu kalau boleh gue minta, gue nggak mau dilahirin ke dunia, Ri. Lo tahu, lo nggak buta, apalagi tuli." Lirih suaranya membuat Faye semakin mengeratkan genggamnya. Ia bisa melihat Ardan sedang berusaha menagan air matanya di balik teduh wajah yang tertunduk.

"Hei, siapa yang dulu pernah nantangin gue main bola basket? Yang dulu pernah malakin permen, hampir seisi alfa di borong. Gis, gue di sini, Adek lo juga, Abang lo, Nakula dan yang lainnya, kenapa harus mikir lo itu nggak penting? Lo tahu apa yang pernah Mami lo bilang..." Faye mendongak ketika Pitter mendekat ke arah mereka, lalu ikut berjongkok di sebelah kursi roda milik Ardan.

Ardan menoleh, membuat Pitter menggeleng lalu tersenyum sambil mengusap sebelah pipinya. "... Nggak semua orang bisa hidup walau itu terbatas. Lo kayak sekarang, karena diri lo sendiri Gis. Lo mampu, memang Papa lo belum lihat aja," ucap Pitter.

Faye terpaku diam menatap dua orang yang selalu memberinya motivasi untuk tidak menyerah dalam keadaan apa pun. Ia tidak pernah lupa kalau dibalik senyum Ardan akan ada Pitter yang menguatkannya. Meski tidak sedarah, meski tidak lahir dari rahim yang sama. Ardan dan Pitter baginya adalah dua dari ribuan orang yang paling menginspirasi. Terlebih ketika Faye melihat Ardan di beberapa acara yang pernag ia hadiri.

"Apa kata Kak Pitter bener, Kak." Kali ini tak ada sahut ataupun amarah. Yang Faye lihat hanya rasa kecewa, bahkan Ardan hanya mengatakan ingin pergi ke kamar dan tak ingin di temani oleh siapa pun.

Faye dan Pitter hanya bisa melihat bagaimana Ardan pergi dengan susah payah mendorong kursi rodanha. Walau sudah ditawarkan, tetap saja Ardan akan menolaknya.

"Nah! Lo kenapa keluar kamar? Kan gue bilang tunggu di kamar," ucap Pitter ketika menoleh menemukan Faye yang berdiri di senelahnya. Faye hanya tertawa, kemudian menatik lrngan Pitter untuk duduk di teras bersama dengannya.

🌠☄️

Katanya menunggu itu membosankan, benar. Tak ada yang salah, hanya saja kali ini Faye merasa kalau menunggu Panji adalah yang paling mrnyenangkan. Datang bersama Yola dengan beberapa kantung belanjaan yang dibawa oleh kakaknya. Selama menunggu, Faye justru mendengarkan berbagai cerita masa remajanya dulu membuat Faye hampir kehilangan akal karena tertawa terlalu keras. Sementara di balik pintu rumah mereka ada Gusti yang diam-diam menguping pembicaraannya. Sejak kejadian beberapa jam lalu Faye sama sekali belum bicara apa pun pada Gusti. Padaha Faye sudah mengusirnya berkali-kali, tetap saja Gusti dengan keras kepalanya memilih untuk berdiam diri di halaman belakang.

"Lho kalian dari tadi di sini?"

"Dari dulu, ya, iyalah! Dari tadi, lo lama banget perut gue sakit nih."

Panji sudah hafal dengan sifat Faye. Anak itu tak akan pernah bisa lama untuk menahan diri tidak berbicara padanya. Bahkan Panji sengaja pergi keluar hanya untuk membelikannya camilan dan beberapa stok bahan masakan yang kebetulan habis. Lelaki itu pun tertawa, lalu memberikan satu kantung plastik berisi camilan yang Faye suka. Setelahnya Panji pun pamit untuk masuk lebih dhlu.

"Gimana? Udah seneng?" tanya Pitter. Faye mengangguk. Namun, detik berikutnya wajah nurung kembali terlihat dengan jelas ketika Faye berkata kalau ia tak suka melihat sikap Aries beberapa waktu lalu.

Sementara Pitter hanya mampu meminjamkan bahunya ketika Faye ingin melepas beban. Kali ini rasanya Pitter telah dipatahkan dua kali oleh waktu dengan cara yang berbeda.

"Kak Ardan nggak pernah sediam tadi kalau gue ajak ngobrol, Kak." Pitter mengerti, tapi Pitter tidak bisa melakukan apa pun kalau Ardan sedang tidak ingin diganggu. Ia hanya khawatir, apa pun yang Ardan rasakan saat ini sangat berpengaruh pada Faye. Meski anak itu tidak mengatakannya.

"Maafin gue Ri, kalau aja gue nggak maksa, mungkin lo masih mau ngomong sama gue sekarang." Gumam Gusti, cowok itu pun akhirnya memilih bangkit lalu meraih ranselnya yang tergeletak begitu saja di sofa.

"Mau ke mana?" suara lembut Yola membuat Gusti tersentak, lalu menoleh. Ada jeda antara keduanya, bahkan jarak mereka pun tak terlalu jauh.

"Aku mau pulang, Kak. Lagian aku di sini juga malah buat kalian ribut. Daripada makin panas, mending aku pulang. Lagian ini udah mau malam, Bunda dan... Ayah pasti udah nunggu di rumah."

"Jangan datang lagi, karena kamu mereka hampir bertengkar. Aku harap kamu mengerti, Rian."

Tidak ada sahut apa pun selain ucapan salam, lalu pergi begitu saja. Sementara di luar sana Faye masih duduk diam menikmati pemandangan sore yang cukup cerah.

"Kak, gue balik duluan, ya." Pitter hanya mengangguk lalu melambai setelahnya. Sementara Faye tak peduli, karena dirinya masih sangat kesal. Untung saja ia tidak melakukan kekerasan, jika saja tidak mengingat Yola yang menangis menyebut nama Panji berkali-kali.

"Ri... Gue balik."

"Pergi dan nggak perlu kembali." Gusti memang salah, ia cukup tahu diri untuk tidak melawan atau membantah. Ia hanya menghela napas ketika Faye memilih untuk pergi dan meninggalkan barang miliknya dan juga Pitter.

"Hati-hati. Nanti kabarin gue kalau udah sampai, sorry soal Rion. Semoga lo nggak trauma setelah ini," kekeh Pitter mencoba mencairkan suasana. Gusti memang tertawa, tapi terasa begitu dipaksakan. Maka ia pun memilih untuk pamit dan membiarkan ingatan masa lalunya berkeliaran entah sampai kapan. Kali ini, bukan hanya Faye atau Ardan yang terluka. Gusti pun sama. Ia melihat Aries dengan caranya melukai seseorang yang begitu berarti untuk Faye.

Patah.

Jika saja Gusti tahu lebih awal, mungkin ia akan lebih berhati-hati lagi untuk menyampaikan semuanya. Tapi semua itu telah terlambat, Gusti sudah melihat sosok Aries dengan mata kepalanya sendiri.

"Ayah pembohong!"

F A Y E

Nah, segini dulu, siapa yang kangen mereka? Jangan lupa tinggalkan jejak ya 😊😊 salam manis Mr. Ice 🍧🍧

Publish 24 Juli 2021

ANCHOR ✅Where stories live. Discover now