11. Iblis Egois

151 24 4
                                    

Jika Tuhan memberi masalah pada manusia, pasti akan  ada obatnya. Dan kali ini Faye hanya butuh obat atas luka hatinya. Ia hanya bisa mengingat senyum manis Alsha lewat foto lama yang pernah diambil ketika dirinya masih kecil. Hanya saja di sana tak ada Ardan atau Panji.

"Gue kangen Mami, Kak."

Dua jam sudah Pitter duduk bersama Faye, anak itu benar-benar tak ingin bertemu dengan siapa pun. Bahkan ketika Panji datang, Faye justru mengusirnya. Ia hanya ingin duduk tanpa ditanya macam-macam.

"Ri, bangun yuk, lo belum makan apa-apa lho."

"Nggak mau Kak. Rasanya gue mau pergi dari sini, tapi gue nggak tau harus ke mana."

Pitter mengerti apa yang sedang Faye rasakan, tapi ia juga tidak akan tinggal diam sementara di luar sana semua orang sedang menunggu Faye. Sejak pulang sekolah anak itu belum makan apa pun. Tindakan mogok makan yang Faye lakukan sudah pasti membuat Panji dan Ardan mengomel di luar sana.

Detik seperti jarak yang begitu jauh untuk dijangkau. Jika saja hari ini Gusti tidak datang, mungkin Faye tidak mungkin merelakan perutnya kosong hanya karena sebuah masalah. Namun, kali ini masalah itu berbeda, bahkan sulit untuk diterima atau dicerna oleh Faye.

"Ah!" Ringkihnya saat Pitter hendak berdiri. Faye justru meremat perutnya kuat.

"Nah, kan gue bilang apa? Makan dulu, nanti minum obat. Lo tuh bandel banget kayak Kakak lo, nurut kata gue apa susahnya?"

"Lo mau nolongin atau ceramah? Sakit perut gue, Kak."

Kali ini Pitter tidak menggubrisnya, cowok itu pun mengangkat tubuh Faye yang begitu ringan baginya, untuk duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Pitter pun duduk sejenak  sambil mengusap punggung tangan Faye. Di sana Pitter bisa merasakan getar tubuh Faye, lalu pandangnya ia bawa ke arah sketsa yang terbingkai rapi di sudut ruangan dekat meja belajar.

"Tante Alsha akan sedih kalau anak bungsunya bandel, dia akan kecewa kalau anak gantengnya ini marah sama dirinya. Kalau Tante tahu yang buat lo kayak gini Abang lo,  dia juga pasti marah. Tapi Ri... Sekarang bukan waktunya marah dengan cara nggak makan. Kasian Abang  sama Kakak lo, mereka bisa penggal kepala gue kalau adeknya nggak mau makan," ucap Pitter. Faye menunduk. Membiarkan jejak air matanya mengering dengan sendirinya. Dia tidak tahu harus membalas kebaikan Pitter dengan cara apa. Baginya  Pitter bukan sekadar teman atau sahabat. Dia selalu ada di saat dirinya rapuh seperti sekarang.

"Makan, ya? Kalau nggak mau keluar kamar, nggak apa-apa. Biar gue bawa makanannya ke sini, biar lo bisa minum obat dan istirahat,"ucap Pitter. Faye tidak menjawab, ia hanya diam menatap Pitter yang tersenyum padanya.  Ia selalu berpikir, bagaimana bisa seorang seperti Pitter begitu dekat dengan keluarganya? Padahal Faye sudah tahu jawabannya akan sama. Pitter tidak punya alasan selain  menyayangi dan memberi cinta meski kelak ia memiliki keluarga sendiri. 

"Jangan mikirin kalau gue kasian sama lo, nggak. Pokoknya lo atau Ardan, kalian udah kayak adik gue sendiri, paham? Tunggu sebentar gue ambil makanan dulu."  Setelahnya Pitter pun bangkit lalu melangkah meninggalkan Faye sendiri. Faye masih diam membiarkan jejak kenangan bersama Pitter dulu muncul tiba-tiba sampai ia tersenyum tanpa sadar.

☄️☄️

Duduk di ruang terbuka harusnya bisa menenangkannya dari beberapa masalah yang sedang dialami. Bahkan saat Pitter baru keluar dari kamar Faye, cowok itu melontarkan banyak pertanyaan, tapi Pitter hanya menjawabnya dengan begitu singkat. Melihat sahabatnya frustasi justru Pitter terhibur, sangat jarang menemukan Ardan yang kesal karena tidak bisa bertemu dengan adiknya yang begitu jarang marah apalagi mendiamkan sampai lama seperti saat ini.

"Jawab gue, dia ngomong apa ?" tanyanya lagi. Pitter sedikit membungkuk, melihat Ardan yang sudah memegang tangannya tanpa mau dilepas.

"Dia nggak mau ngomong sama lo, atau Bang Panji. Kasih dia waktu buat sendiri, nggak usah khawatir, di sini ada gue. Gue bisa nginep, kalau lo mau," balasnya.  Seperti yang sudah Pitter lakukan ketika mereka masih sekolah dulu, Pitter akan menjadi sandaran terbaik setelah Alsha dan Panji. Meski ada Nakula dan Sabit. Tetap saja, rasanya tak sama, Pitter jauh lebih baik dari siapa pun yang pernah ia kenal.

"Lo juga, kata Kak Yola, Lo belum minum obat, gimana sih, gue mastiin  Faye, nanti kita lanjut ngobrol." Ardan hanya mengangguk, ia tak bisa lagi membantah apa pun yang Pitter katakan. Baginya Pitter sama seperti Panji sulit untuk ditebak kapan dan bagaimana Pitter bertindak.

Saat ini Ardan hanya ingin melihat Aries, lalu mengobrol bersamanya. Memastikan kalau yang dia dengar tidak benar. Bahkan sampai detik ini pun  Ardan masih sama. Merindukan Papa meski kenyataannya, Aries tidak sungguh-sungguh telah berubah.

Ardan tahu segalanya, tapi ia tak pernah memberitahu siapa pun termasuk Pitter. Ada getar yang sampai saat ini masih Ardan pendam, jika mengingatnya pun, Ardan akan menahan luka bukan lagi bahagia.

"Papa?" Ardan hanya mengerutkan keningnya ketika ia melihat Aries dari kejauhan yang melangkah ke arahnya.

"Ardan..." Suara barinton yang selalu Ardan rindu sejak terakhir kali mereka bertemu. "Kita ketemu lagi, Papa kangen kamu," ucapnya. Tidak harusnya Ardan tidak luluh, kan? Tapi ia tidak bisa. Ardan akan berkaca-kaca ketika melihat Aries berdiri di hadapannya sama seperti waktu Alsha masih ada.

"Papa mau apa ke sini? Nanti Abang lihat," pelan suaranya membuat Aries terkekeh. Lalu mengusap kepala putranya perlahan, sampai membuat Ardan mendongak. Ada tatap tajam dari balik kacamata hitam yang Aries kenakan. 

"Bilang sama Panji, Papa mau ketemu dia sebentar. Sekalian salamin juga buat Adik kamu. Orion." 

"Abang baru aja keluar Pa, dia lagi anterin Kak Yola." Teras dengan halaman yang cukup luas membuat Aries menatap sekeliling membiarkan hening antara keduanya.

"Oh. Papa kira Panji di dalam, dan... Apa ada orang yang ke sini tadi?"

Ardan diam sejenak, mencerna  ucapan Aries adalah hal yang membuatnya hampir gila. Tak lama, kedua matanya membola setelah melihat bagaimana bibir tipis Aries menyungging dengan hela napas berat.

"Jangan bilang, Papa ke sini cuma mau buat Abang sama Rion ribut, iya, kan? Papa egois tahu nggak!" Tinggi suaranya membuat Aries tertawa. Kemudian berjongkok di hadapan Ardan. Bahkan pria itu sudah melepaskan kacamatanya hanya untuk menunjukkan rasa senangnya pada Ardan.

"Memang. Dan kamu tahu? Selama ini, kamu tetap penyakit untuk saya. Bukan, tapi untuk Panji dan Orion. Kamu parasit. Hah! Sudahlah, katakan pada Panji kalau saya datang ke sini." 

Setelahnya Aries pun bangkit lalu pergi begitu saja.  Sementara Ardan benar-benar bungkam dalam diam.  Ia tahu tapi rasanya mustahil untuk percaya.

"Lo nggak perlu jadi orang lain, Kak.  Gue udah dengar. Dia nggak pantas buat dipanggil Papa."

Hening tercipta, ingatan lama menjadi satu-satunya kelam yang pernah ada.  Aries memang seperti Iblis. Dia tidak peduli akan perasaan orang lain, walau itu anaknya sendiri.

F A Y E

Yaaayyyy, akhirnya aku up juga. Terima kasih telah menunggu Faye. Maaf kalau lama  upnya. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Salam Manis Mr. Ice 🍧🍧

Publish, 20 Juli 2021

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Publish, 20 Juli 2021

ANCHOR ✅Where stories live. Discover now