CHAPTER 31

1.5K 402 47
                                    

Perjalan menuju Wana Tirtaganda membutuhkan waktu setidaknya delapan hari berkuda seperti yang Batara katakan. Tentunya mereka tidak akan terus-menerus melakukan perjalanan, mengingat Nero juga tidak terlalu nyaman berada di dalam karavan sempit.

Osric dan Nimue mengendarai karavan dengan Kramor yang memimpin jalan, sedangkan Eira serta Castro berada di belakang, sembari berjaga-jaga. Udara malam berhembus melewati keduanya, membuat Eira sedikit berigidik. Dia masih belum juga terbiasa pada hembusan malam yang dingin. Tinggal di daratan Arlon yang sepanjang hari hampir seperti musim panas membuat dhampir itu merindukan kehangatan.

Castro yang melihatnya, cepat-cepat turun dari kuda dan melepaskan jubah untuk diserahkan pada Eira. "Kenakan ini," pintanya.

"Tidak, terima kasih," tolak Eira.

"Aku tinggal di bawah kaki gunung. Udara malam yang dingin adalah hal yang biasa." Mengulurkan tangan, Castro meminta Eira untuk turun dari kudanya.

Bergeming, Eira akhirnya menyambut tangan Castro yang membantunya turun. Lelaki itu kemudian memakaikan jubah miliknya pada Eira. Keduanya pun kembali menaiki kuda masing-masing.

Kramor yang menoleh untuk melihat keduanya hanya bisa menggeleng-geleng. "Dasar anak muda," gumamnya.

"Hey, apa menurutmu naga itu akan memberitahu keberadaan pedang Gram?" tanya Osric pada Nimue yang duduk di sampingnya.

"Aku harap iya," jawabnya.

"Bagaimana dengan Merlin? Apa menurutmu dia benar-benar ada?" tanya Osric lagi.

"Kita menemukan cermin miliknya, aku rasa dia bukan hanya legenda belaka. Lagipula, pedang Excalibur tidak dapat dicabut oleh sembarang orang. Merlin menggunakan sihirnya untuk melakukan hal itu. Dan kita sudah melihat pedang itu." Nimue memposisikan dirinya untuk tegak.

Osric yang masih penasaran terus membanjiri Nimue dengan pertanyaan. "Bagaimana dengan Merlin sendiri? Apakah ada yang mengetahui keberadaannya? Atau apakah dia masih hidup?"

"Banyak yang mengatakan, setelah menggunakan sihir hitam untuk mengikat pedang Excalibur, Merlin pergi ke sebuah pulau terpencil. Tempat di mana dia menempa pedang itu dengan sihir hitamnya."

Mengangguk-angguk, Osric hanya dapat membayangkan semua hal itu dalam benaknya.

"Hey, kita bermalam di sini," sorak Eira pada mereka.

"Akhirnya! Aku kira kita akan terus berkuda hingga matahari terbit." Kramor yang menantikan untuk berbaring dan memejamkan mata sejak tadi sudah lebih dulu turun dan mengingat kudanya.

Nero yang akhirnya bisa meregangkan kaki-kakinya dari tempat sempit mulai berputar-putar untuk memejamkan mata kembali dan meringkuk di samping Kramor.

"Aku akan berjaga lebih dulu, kalian bisa tidur." Sembari mengikat kudanya, Eira mencari alasan untuk tidak memejamkan mata. Pasalnya, setelah diperlihatkan oleh cermin itu, dia tidak ingin barang sedikit menutup matanya.

"Kau bisa beristirahat, aku yang akan berjaga." Castro mengajukan diri.

"Tidak apa, lagipula tidur tidak akan membuatku lebih baik," tolak Eira. Setelah mengikat kudanya dia duduk dekat karavan. Di mana dia melihat Nimue masuk untuk tidur di sana. Sedangkan Osric, masih mencari posisi untuk dia menenggelamkan pikirannya.

Castro yang baru selesai mengikat kudaya menyusul Eira. " Karena mimpi buruk?" Lelaki itu duduk di samping si dhampir sambil menoleh padanya.

"Lebih seperti kenangan buruk yang tidak bisa kulupakan," jawab Eira dengan nada lemah.

Lelaki itu akhirnya mengalihkan pandangan dari Eira, ikut larut dalam kesedihan yang tidak bisa dia ratapi. Dia kemudian meraih pisau pemberian ibunya yang dia gantungkan di pinggang. "Belati ini milik ibuku," ujarnya. "Karena tidak menurunkan darah witch, ibuku membuatkan belati ini. Untuk menjagaku dan keberuntungan katanya."

Eira The Last DhampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang