CHAPTER 26

1.6K 426 25
                                    

Matahari sudah naik ke permukaan saat kapal yang Eira tumpangi sampai di pelabuhan. Jayakarta yang tertulis tepat di depan pintu masuk pelabuhan dengan kayu yang diukir sedemikian rupa. Di Afemir, tidak semua kerajaan memiliki wilayah peraian, karena itu juga hanya ada beberapa pelabuhan besar yang menjadi pintu masuk utama ke sana. Sedangkan pelabuhan-pelabuhan kecil hanya diperbolehkan untuk antar muat barang.

Pelabuhan Jayakarta berada di wilayah Batavia, kawasan yang terkenal dengan sejuta ras dan budaya. Di tempat itu, tidak hanya ditemukan ras-ras utama, tapi berbagai macam ras campuran yang berasal dari wilayah di berbagai kontinen. Elf yang menikah dengan seorang nymph, dwarf yang dapat menggunakan sihir, dan berbagai macam ras campuran lainnya.

"Akhirnya, daratan! Itulah kenapa aku membenci lautan." Osric bergidik saat mengingat dua monster raksasa yang hampir melahap kapal mereka.

"Ayo, aku tahu tempat untuk memulai memburu para bandit itu." Kini, dwarf itu lebih bersemangat dari mereka bertiga yang hampir kelelahan karena tidak cukup tidur.

Eira melirik pakaiannya yang sudah kering sejak tadi, namun pakaian itu tidak cukup untuk membantunya beratarung jika mereka harus menghadapi para bandit Ravenvale. "Aku harus mencari perlengkapan," katanya.

Si dwarf yang kini melirik Eira mengangguk. "Ya, lagipula kau membutuhkan lebih dari sekadar mengenakan pakaian linen dan sutra mahal milikmu untuk menghadapi para bandit," ejeknya.

Tentu saja dia butuh lebih dari pakaiannya sekarang. Setelah pertarungan bersama para bunyip waktu itu, semua perlengkapannya hangus terbakar. Bakhan pelindung dadanya yang terbuat dari kulit dan besi tidak sanggup menahan api yang meledak dengan garangnya. Sedangkan pakaian Castro yang dikenakannya sekarang, tentu sangat tidak mumpuni untuk bertarung. Sebab itu juga dia hampir kewalahan saat menghadapi para monster laut.

Sambil menaiki kudanya, mereka pergi menuju pusat kota. Setelah matahari naik semakin tinggi, orang-orang mulai sibuk berlalu-lalang. Sekumpulan pedagang sudah membuka lapak mereka, ibu-ibu hingga anak-anak berlarian memenuhi jalanan.

Eira berjalan menjauhi kerumunan, sedangkan Osric dan Nimue bersemangat untuk menuju alun-alun. "Hey! Tujuan kita bukan untuk bersenang-senang." Eira menoleh pada keduanya yang akan beranjak.

"Kau pasti lapar, kan? Bagaimana kalau aku dan Nimue mencari makan, dan kalian berdua mencari perlengkapan yang kau butuhkan," pinta Osric.

"Aku rasa itu akan menghemat waktu, aku juga lapar," balas dwarf itu, menyetujui Osric.

Bukannya tidak ingin membuang waktu, dia lebih kepada tidak percaya kedua orang itu. Di kota yang besar seperti ini, tentu akan banyak tangan-tangan panjang serta orang licik yang akan mengelabui keduanya. Namun, Eira akhirnya mengalah pada rasa tidak percayanya untuk kali ini. "Jangan pergi jauh-jauh dari alun-alun," pesannya, terutama pada Nimue. Dia lebih mengkhawatirkannya, ketimbang Osric.

Nimue mengangguk. Namun belum juga mereka pergi, Osric mengulurkan tangan pada Eira. Menghela napas panjang, dhampir itu mengeluarkan koin dari saku dan menyerahkannya pada lelaki itu. Kini, keduanya pergi dengan rasa penasaran yang melebihi rasa takut untuk bertemu para prajurit Troan.

"Mereka tidak akan bertahan," gumam si dwarf. "Aku Kramor omong-omong."

Sebagai seseorang yang tidak memercayai orang asing, tentu Kramor bukan seseorang yang bisa Eira percaya. Terlebih, lelaki dwarf itu berniat untuk membawanya ke Raja Castor hanya untuk mendapatkan imbalan yang dijanjikan. "Eira," balasnya. Namun, tentu saja Kramor sudah mengetahui namanya dari selebaran yang dia dapatkan.

"Aku tahu siapa kau, namun yang menjadi pertanyaanku, mengapa mereka menginkan kematianmu?" tanyanya penuh pensaran.

Sambil berjalan melewati beberapa pedagang yang sesekali menawari mereka untuk membeli dagangannya, Eira balik bertanya. "Bukankah lebih mudah jika kau tidak mengetahui apa yang telah kuperbuat?"

Eira The Last DhampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang