CHAPTER 22

1.6K 443 18
                                    

"Hey, bangun!" Eira yang telah siap untuk melanjutkan perjalanan mulai membangunkan dua orang pemalas yang belum bangun sejak tadi. "Hey! Bangun atau kupanggilkan leshy untuk menyantap kalian berdua!"

Dengan malas, Osric membuka matanya. "Ya, ya, aku sudah bangun," ujarnya. Matanya kemudian melirik Nimue yang masih berbaring di dekat api unggun yang sudah padam.

"Nimue, cepat bangun! Kita harus pergi sebelum matahari naik," ujar Eira sekali lagi.

"Tidak bisakah kita berangkat saat matahari sudah naik saja?" gumamnya.

"Kalau begitu kau akan tinggal di sini sampai para prajurit Troan menangkapmu."

Dengan cepat, Nimue membuka matanya. Sambil mengerang dia bangkit meregangkan seluruh persendiannya yang agak sakit. Bagaimana tidak, belakangan ini dia tidur hanya berselimutkan jubahnya di bawah rerumputan dan tanah.

"Ke mana tujuan kita sekarang?" Tanya Osric.

"Rudolf," jawab Eira singkat.

Osric yang mendengar itu langsung menolaknya mentah-mentah. "Tidak, kita tidak bisa ke Rudolf, aku tidak mau kembali ke sana, setidaknya untuk saat ini."

"Kalau begitu kita berpisah di sini."

"Tidak, tidak. Lagipula, Failos lebih cocok untuk bersembunyi karena wilayahnya yang lebih luas."

"Kita tidak akan ke Failos," sergah Eira dengan cepat. Nada bicaranya sedikit meninggi saat Osric menyebutkan tempat itu.

Keheningan menyelimuti keduanya. Nimue yang baru selesai mengumpulkan kesadarannya akhirnya mulai berbicara. "Tidak ke Rudolf atau pun Failos, kalau begitu kita menyeberang ke Morlon atau Afemir."

Eira tidak begitu suka gagasan itu, namun Osric ada benarnya, Rudolf adalah wilayah yang tidak cocok untuk pelarian seperti mereka. Satu-satunya tempat yang sangat berpotensi untuk mereka pergi adalah Afemir. Mereka akan sulit untuk ditemukan di tempat itu yang memiliki banyak wilayah dari berbagai jenis ras.

"Baiklah, kita ke Afemir." Eira akhirnya menyetujui rencana Nimue. Dia kemudian berniat mengambil peta yang dia dapatkan dari dwarf waktu itu, namun saat tangannya merogoh buntalan perlengkapannya, Eira tidak menemukannya sama sekali.

Melihat gelagat Eira, Nimue akhirnya bertanya. "Ada apa?"

"Petanya hilang." Eira kemudian terdiam sesaat, berusaha mengingat-ingat di mana terakhir kali dia melihatnya. "Sial, peta itu terbakar bersama pakaianku," gerutunya.

"Kalau begitu, Afemir sangat cocok untuk kita pergi," ujar Osric. "Aku tahu peta dengan detail seperti itu langka dan hanya dimiliki kerajaan-kerajaan tertentu saja. Tapi aku tahu satu tempat yang memilikinya di Afemir."

"Bagus kalau begitu kita harus ke sana!" Nimue bersorak.

Eira cukup lega mendengarnya, namun tidak memungkiri kecurigaan pada Osric. "Aku tidak percaya pada sebuah kebetulan, katakan padaku apa yang kau ketahui," ujarnya.

Osric mematung. "Apa maksudmu?" bantahnya, pura-pura tidak mengerti. Sedangkan Nimue melirik keduanya bergantian.

Memberikan isyarat, Eira meraih pedangnya mengancam. "Atau kau lebih suka pedangku yang berbicara?"

"Baiklah, baiklah," katanya sambil berusaha mencegah Eira menarik pedangnya. Dia kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar kertas lusuh yang dia temui saat berada di kedai kemarin. "Aku menemukan ini di kedai."

Eira meraih kertas yang disodorkan oleh Osric dan mendapati penggambaran wajahnya serta Nimue yang bertuliskan, "Dicari! Seribu Frocrint untuk kepala si dhampir dan lima ratus Frocrint untuk si Aziza. Hidup atau mati."

Eira The Last DhampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang