CHAPTER 17

1.8K 478 10
                                    

Eira menyeret kakinya yang telanjang untuk menelusuri hutan, sedangkan pedang Axia berada ditangannya. Walaupun luka-luka bakarnya telah kembali seperti semula, rasa nyeri di beberapa bagian masih dia rasakan. Pertarungannya dengan para bunyip memang membuatnya kewalahan, dia terkena beberapa jeratan di leher dan tangannya saat itu. Hampir membuatnya kehabisan napas dan hal itu yang membuatnya meledakkan seluruh rawa dengan semburan api.

Tidak jauh dari tempatnya beristirahat tadi, sebuah danau kecil berhasil dia temukan. Sebelum menginjakkan kakinya ke dalam air, Eira memeriksa kalau-kalau ada monster yang tengah menantinya di dalam sana. Dia melemparkan sebuah batu dan menunggu beberapa detik untuk mendapatkan reaksi.

Tidak ada pergerakan sedikit pun, Eira akhirnya memutuskan untuk meletakkan pedangnya dan membuka jubahnya. Memperlihatkan seluruh tubuhnya yang tanpa sehelai kain, namun kegelapan malam di hutan mampu membuat siapa pun tidak akan bisa melihatnya dengan jelas.

Saat air menyentuh kulitnya, sengatan dingin langsung menusuk hingga membuat Eira mengigil. Danau tersebut tidak cukup dalam, namun dapat menutupi tubuh Eira hingga sedada. Perlahan punggungnya dibasuh, hingga dia menenggelamkan kepalanya agar seluruh tubuhnya terkena air.

Saat dia menyembulkan kepalanya kembali, seseorang tengah berdiri di dekat pedang dan jubah miliknya. Wajah lelaki itu tertutup sebagian oleh bayangan pepohonan, membuat Eira tidak bisa melihatnya dengan jelas. Dhampir itu bergeming, tidak tahu harus bereaksi apa. Dia tidak bisa meraih pedangnya karena lelaki itu tengah berdiri tepat disampingnya. Dia akan kalah cepat jika berusaha mengambilnya.

"Eira si Dhampir. Akhirnya aku bertemu denganmu." Suara lelaki itu belum pernah Eira kenali sebelumnya. "Kau tidak seperti yang aku bayangkan.," tambahnya.

"Kau salah orang, pergilah sebelum-"

"Mereka juga mengatakan kau agak kasar," selanya. Membungkam Eira, lelaki itu kini melirik pedang yang berada di dekat kakinya. Dia kemudian meraihnya dan memainkan pedang tersebut seolah miliknya.

"Letakkan pedang itu!" perintah Eira.

"Atau apa?" tantangnya.

Eira terdiam lagi. Lelaki itu bisa membuat Eira kesal. Namun, dia tidak dapat mencapai permukaan atau seluruh tubuhnya tereskspos oleh lelaki tidak dikenal yang berada di hadapannya saat ini.

"Apa maumu?"

Sambil masih mengamati pedang tersebut, lelaki itu menjawab. "Untuk seseorang yang cukup terkenal, kau tidak terlihat seperti seseorang yang dapat mengalahkanku," ujarnya.

Eira menyeringai, membuat tawa mengejek yang berhasil mengalihkan pandangan lelaki itu, tertuju padanya. "Untuk seseorang yang bermulut besar, kau terlihat terlalu percaya diri."

Kini pandangan lelaki itu terpusat pada Eira. Untuk beberapa detik, mata mereka saling beradu. Iris Eira yang berwarna amber menampakkan warna keemasan di bawah rembulan, sedangkan iris mata lelaki itu, segelap malam.

Lelaki itu kemudian maju selangkah, menampakkan seluruh wajahnya yang kini terlihat jelas di bawah rembulan. Jenggot tipis menutupi dagunya, rambut hitam legam menggantung di atas bahu, menyamai telinganya, sedangkan matanya terlihat lebih gelap bahkan di bawah cayaha. "Aku bisa memisahkan jantungmu bahkan tanpa menyentuhmu," suaranya mengintimidasi, terdengar tenang, namun menakutkan. Seperti kedalaman air di laut yang dapat menenggelamkan jika kau tidak bisa mengatur pergerakan

"Kematian tidak membuatku takut," balas Eira. Tentu saja dia tidak takut akan hal itu, dia bahkan siap mati saat berada di kubangan rawa untuk melawan para bunyip. Namun kematian menolaknya mentah-mentah dan mengembalikannya pada kehidupan yang hanya meninggalkan kesengsaraan dan tidak berarti untuknya.

Eira The Last DhampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang