Memory

233 51 0
                                    

Hallo Semua !
Buset dha, lama bet aku ga muncul di cerita ini. Banyak kesibukan yang ga terduga, banyak kejadian juga yang ngancurin mood tiba-tiba. Ya.. gaada yang nyariin si emang, tapi aku tetep minta maaf atas ketidak konsisten-an ini ya teman-teman.

HAPPY READING !

Surat Terbuka Kanaya Hujan untuk Kanaya Xabiru.


Dahulu kamu tak tau bentuk roket dan segala unsurnya. Sekarang kamu rasaku dan segala perihnya.

Author Pov

Sejak tadi gadis cantik dengan rambut tergelung duduk di depan kolam renang yang sudah lama tidak terpakai.

Suasana rumah yang sepi membuat Ia lebih berniat untuk keluar dari kamarnya dan menikmati udara luar.

"Non Hujan?" Sapa seorang dari belakang menyadarkan lamunannya.

"Iya bi?" Tanyanya pada Bi Siti yang ternyata sudah berada di belakangnya. Membawa nampan berisi segelas jus jeruk dan biskuit coklat kesukaan gadis itu.

"Belum mau masuk non? Sudah hampir malam. Ini bibi bawain minuman sama camilan" Bi Siti tersenyum seraya meletakan nampan itu tepat di samping Hujan.

Gadis itu tersenyum, "makasih ya bi"

"Bibi boleh duduk disini non?" Lagi-lagi Bi Siti bertanya, yang dihadiahi anggukan kecil oleh Hujan.

"Waktu udah berlalu cepat banget ya non,"

Hujan menoleh ke Bi Siti yang spontan berkata, alisnya mengerut tak paham.

"Iya udah lama..Dulu waktu kecil, non Hujan dan non Biru suka main disini sama Ibu dan Bapak. Ngga ada ribut-ribut kayak sekarang, semuanya adem ayem. Non Biru juga ramah banget, ceria kalian berdua." Ungkap Bi Siti panjang. Ia masih mengingat moment yang ingin di ulang siapapun. Momen kebahagiaan dimana masalah belum datang ke kehidupan kita.

Hujan menatap kosong ke air kolam yang menggenang tenang, walaupun lama tak digunakan, kolam ini masih rajin di bersihan, masih tampak seperti dipakai setiap hari.

Gadis itu hampir lupa, sebelum menjadi seorang Gadis munafik, Biru pernah menjadi sosok adik tercantik di hidupnya.

Jakarta, Desember, 2011

"Yah, nanti kalau sudah besar kita mau jadi astronot" Ungkap gadis kecil yang sedang merangkul erat adiknya kepada sang Ayah yang sedang terduduk di sisi kolam renang.

"Wih...hebat anak ayah, kalau ke luar angkasa ayahnya diajak ga?" Tanggap Bisma pada dua gadis kecilnya yang berdiri dengan mata polos yang berbinar.

"Ajak dong! Nanti kak Hujan yyan nyetir roketnya. Biru temenin ayah di belakang ya" Ucap lucu gadis berusia 6 tahun yang masih terangkul oleh sang kakak.

"Aku dong yang nemenin ayah. Kamu nyetir aja Biru. Kan aku lebih gede" Protes Hujan tak senang, dengan pipi digembungkan menunjukan bahwa Ia marah.

"Loh..Bunda gak diajak?" Seorang wanita cantik menggunakan celemek berwarna maroon menghampiri mereka dengan membawa nampan berisikan 3 gelas jus jeruk dan biskuit.

"BUNDAA" Kedua gadis kecil dengan pakaian basah seusai berenang berlari dan memeluk sang bunda secara tiba-tiba.

Tes, tes, tes

"Non Hujan?" Panggil seorang dari sisi samping menghancurkan lamunannya. Tak terasa wajahnya basah, basah oleh air mata yang tak mau Ia tampakan. Oleh air mata yang tak sengaja keluar karena hatinya terluka.

"Eh, i-iya Bi. Hujan masuk dulu ya, udah gelap. Makasih ya bi minum dan Biskuitnya" Gadis itu beranjak tanpa menoleh ke sang bibi, tangannya menyambar nampan yang dibawakan Bi Siti untuk di minum dan makan di kamar.

"Hah, hah, hah" Deru nafas berat gadis yang baru saja sampai di kamar mengisi keheningan kamarnya. Dadanya sakit, Kenapa memori itu tetap harus ada di kepalanya? Kenapa memori tersebut selalu menjadi penghalang Hujan untuk kembali menyakiti Biru. Kenapa dahulu Ia meminta sosok adik manis kala Ia belum mengerti apa itu kasih sayang terbagi.

Air matanya terus mengalir tanpa diminta, hatinya terus sakit tanpa disiksa, kekecewaannya terus hadir membawa luka, kenangannya istimewa namun terasa hampa.

Kadang kala kita buta, lupa bahwa harus berubah untuk tak kecewa. Namun Hujan belum bisa untuk menjadi seperti itu. Gadis yang dibenci itu, masih menjadi salah satu anugrah Tuhan yang Hujan sayangi dan syukuri. Kehadirannya sempat hangat walau akhirnya menyengat dan hampir membakarnya hidup-hidup karena menjadi sosok yang lemah dan tak berniat lari menyelamatkan diri.

Entah sejak kapan semua berubah, menjadi sangat menyakitkan. Menjadi harus dirindukan, dan menjadi lelah diharapkan.

Hujan menoleh cepat saat suara gerbang terbuka dari bawah. Ia menyadari keluarga kecil tanpa dirinya itu sudah pulang dari family time.

Dan hal itu menyadarkannya kembali, bahwa disini Ia tak diharapkan. Hujan mengusap kencang air matanya, merebahkan dirinya diatas kasur queensize miliknya.

Manik matanya menatap langit kamar, dengan plafon putih yang menghanyutkan pandangannya yang masih berkaca-kaca.

Tok, tok, tok

Suara pintu kamar menganggu lamunan gadis yang masih menatap angan yang tak tampak.

"Hujan, Bunda bawain kamu kopi sayang" Suara Syela tiba-tiba terdengar dari balik pintu. Hujan segera beranjak, menghapus segala jejak tangisan. Kali ini Ia malas harus menghindar.

Pintu putih itu terbuka, menampilkan seorang wanita paruh baya yang belum terlepas dari riasannya seusai pergi sembari membawa sebuah paperbag kecil berisikan kopi yang dimaksudkan.

"Makasih Bun," Hujan meraihnya dan berniat segera kembali masuk ke kamarnya.

"Bunda mau ngomong sebentar boleh?"

Want to continue?
Don't forget to follow me, vote and gimme krisar in comment sect♡

🔥: Syela mau ngomong apa sama Hujan ya?

Cast in this chapter

1. Kanaya Hujan

2. Zanuel Evagas

Supporting chara

1. Syela (Bunda Hujan)

2. Bi Siti










HUJAN | TAMAT✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang