49. Sanctuary in His Arms

Start from the beginning
                                    

Aku kembali mendengar suara derap kaki mendekat.

Tim medis.

Keadaan di sekitarku seperti memudar perlahan, berubah menjadi bentuk-bentuk tak beraturan. Aku merasakan tubuhku diangkat ke atas tandu. Tanganku terus digenggam erat Mark hingga saat detik terakhir kesadaranku.

Kegelapan perlahan menyelubungiku. Aku seperti dipeluk ketenangan yang teramat.

Lalu semuanya menghilang.


*****



Aku terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan posisi agak miring untuk mengurangi tekanan pada luka di punggungku yang sudah ditangani dengan baik. Aku tersadar sekitar dua jam yang lalu dengan keadaan seluruh tubuh yang terasa kebas. Kukira aku tidak akan bangun lagi, tapi ternyata aku salah. Aku membuka mata dan melihat Mark berada di sisi ranjangku, sedang menjagaku.

Ia benar-benar pulang.

Mark-ku.

"Kau benar-benar akan menghabiskan waktu dengan memandangiku seperti itu?" tanya Mark iseng seraya mengupas apel hijau di tangannya dengan sebuah pisau kecil. "Aku masih belum mandi, lho. Aku tidak setampan itu untuk terus kau pandangi."

Aku mengulum senyum, masih enggan untuk berhenti memandangi Mark. Ia mengupas apel dengan tidak rapi. Penampilan Mark masih lusuh sekali dan ada bekas memar di tulang pipinya yang baru terlihat jika diperhatikan lekat-lekat. "Kau kemana saja?" tanyaku halus.

Mark mengalihkan seluruh perhatiannya kepadaku. Rautnya berubah serius mengetahui aku sedang menuntut penjelasan yang belum juga diberikannya. Ia langsung berhenti mengupas. "Clavina, kau baru siuman. Kondisimu masih lemah. Haruskah kita membicarakan ini sekarang?"

Aku mengangguk yakin. "Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan kenapa ada luka di telapak tangan kananmu?" Mark terus berusaha menyembunyikan luka melintang di telapak tangan kanannya, tapi mataku tentu saja tidak melewatkan itu.

Mark menelan ludah, lalu menarik napas. Sebelum memulai, ia menatap mataku lama, kembali menimbang-nimbang. "Aku sedang bersiap-siap pulang saat itu semua terjadi. Empat orang pria berpenutup wajah tiba-tiba menghampiriku di area parkir galeri dan memukuliku dengan brutal. Selanjutnya, aku dibawa ke sebuah tempat penyekapan. Di sana aku baru tahu bahwa Nathan adalah dalang di balik penyeranganku. Ia sudah memata-mataiku sejak aku menginjakkan kaki di New Orleans. Ia melampiaskan kemarahannya di tempat di mana aku disekap dengan pukulan-pukulan sementara empat anak buahnya memegangiku agar aku tidak bisa melawan sama sekali. Ia punya dendam besar terhadapku, aku tahu yang diinginkannya hanyalah melihatku mati."

Mark berhenti sejenak, kemudian melanjutkan. "Malam itu, salah satu anak buah Nathan menodongkan pistol ke kepalaku sementara Nathan menyerahkan selembar kertas dan sebuah pulpen. Ia memberiku kesempatan menulis surat perpisahan untukmu sebelum aku ditembak. Ia menyayat telapak tanganku dengan pisau agar, meskipun aku memiliki kesempatan untuk menulis surat sebagai ucapan selamat tinggal, aku harus melakukannya dengan penuh perjuangan akibat rasa sakit dari luka torehan dalam, itulah alasan mengapa surat yang kau terima berlumuran banyak darah."

Mataku berkaca-kaca. Ternyata darah itu bukan dari luka tusukan di perut Mark, namun tetap saja, Mark menulis surat itu dengan menahan rasa sakit luar biasa.

"Aku sudah berpikir bahwa aku benar-benar akan mati. Rasanya tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata membayangkan aku tidak akan bisa pulang lagi. Tidak bisa memelukmu lagi adalah sebuah mimpi buruk. Aku takut sekali karena jika aku pergi, tidak akan ada yang menjagamu, Clavina."

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now