Aku menatap lurus ke dalam mata abu-abu tajam di hadapanku. Nathan tidak akan langsung membunuhku, ia ingin bersenang-senang dengan menyiksaku terlebih dahulu.

Dengan gerakan secepat kilat, aku menarik tangan Nathan yang sedang menyentuhku dan menggigit pergelangannya dengan seluruh sisa tenaga yang kupunya. Nathan mengerang, tidak mengantisipasi seranganku yang begitu tiba-tiba. Aku baru melepaskan gigitanku saat merasakan sesuatu yang anyir dalam mulutku. Aku berhasil menciptakan luka berdarah.

Nathan menjambak kasar rambutku hingga kepalaku tersentak ke belakang. Dengan kekuatan penuh, aku membalas dengan cara menendang selangkangannya sehingga aku berhasil melepaskan diri. Nathan langsung menghujaniku dengan sumpah serapah sembari menahan sakit.

Pintu depan digedor-gedor dengan keras. Aku berlari tertatih menghampiri vas bunga di dekat jendela. Sesaat kemudian, kepanikan kembali menyerangku saat menyadari bahwa Nathan kini sudah menyusulku, tendanganku tadi tidak bisa melumpuhkannya lama.

Pintu terus digedor. Aku mencoba memukul Nathan dengan vas keramik namun ia berhasil mencekal lenganku. Aku terus memberontak, berusaha menghantamkan vas di tanganku ke kepala laki-laki yang ukuran tubuhnya jauh lebih besar dariku itu.

Nathan berhasil merebut vas itu dan membantingnya ke lantai lalu memiting tanganku ke belakang punggung hingga aku mengerang kesakitan.

Nathan membantingku ke lantai dengan kasar, kepalaku nyaris saja membentur tepian meja.

"BUKA PINTUNYA, NATHAN!"

Suara teriakan di balik pintu membuat raut Nathan justru berubah semakin beringas. Ia menunduk sambil berjalan menghampiriku dengan wajah tertunduk buas. Sementara itu, aku terus beringsut mundur. Aku merasakan sentakan putus asa saat punggungku membentur meja.

Aku berguling ke samping, entah dengan kekuatan yang datang dari mana, aku bisa bergerak cukup cepat untuk meraih pecahan vas yang tercecer di lantai. Namun sebelum aku bisa bergerak lagi, tiba-tiba saja Nathan menerjangku. Bagian belakang kepalaku membentur lantai. Nathan menindihku dan mengunci gerakan kedua tanganku. Kaki-kakiku juga tidak bisa bergerak lagi karena tubuh Nathan terlalu berat.

"Aku ingin menjalankan seluruh proses ini secara perlahan, Clavina. Tapi kau yang meminta agar semuanya diselesaikan dengan cepat." Suara Nathan mengirimkan ancaman hingga ke seluruh tulangku.

Aku merasa ketakutan luar biasa. Air mataku mengalir deras. Pintu depan masih terus berusaha didobrak.

Aku ingin mati sekarang juga daripada harus menghadapi apa yang mungkin akan dilakukan Nathan selanjutnya untuk menyiksaku.

Tatapan Nathan terlihat seperti tusukan ujung belati. Kedua pergelangan tanganku terasa sakit karena dicengkeram dengan begitu kuatnya. Aku tahu, aku tidak mungkin bisa menandingi kekuatan Nathan. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk membebaskan diri, jadi aku nekad meludahi wajahnya.

Nathan semakin dibakar amarah akibat tindakanku. Ia menamparku keras sekali hingga telingaku berdenging lagi. Namun, itu memberiku kesempatan untuk bergerak.

Aku menghujamkan pecahan vas berujung tajam ke lengan Nathan. Kemeja putihnya langsung dihiasi noda darah. Ia kembali menyemburkan sumpah serapah. Telingaku masih berdenging karena tamparannya tadi, jadi aku tidak bisa mendengar secara detail semua kata kasar yang keluar dari mulutnya.

Bajingan... jalang... pergilah ke neraka...aku akan membunuhmu...lalu entah apa lagi.

Kau yang seharusnya pergi ke neraka, Nathan!

Aku menendang perut Nathan saat ia masih sibuk memegangi lengannya yang terluka. Aku segera membebaskan diri dan berlari menghindarinya.

Nathan meraih kerah blus di balik sweterku dengan begitu kasar hingga robek, namun aku tetap berhasil membebaskan diri. Aku merasakan sengatan perih di kulit sekitar tulang selangkaku, Nathan sepertinya meninggalkan luka cakaran saat berusaha menahanku tadi.

In A Rainy Autumn [END]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें