Episode 32 Kilas Balik

Mulai dari awal
                                    

"Ndan, sebentar lagi kita kembali ke markas. Pasti menyenangkan ketemu anak dan istri," ujar Dwi setelah menyelesaikan seruputan susu cokelat panas berkalori tinggi itu.

"Siap, betul, Ndan! Ah, sa su kapok bertugas di Papua," celetuk Jefry memperlihatkan barisan gigi putihnya.

Gavin hanya tersenyum tipis, berdecak enteng seraya menggeleng-geleng. "Kalian ini cengeng sekali ka! Baru sembilan bulan su kangen," ejek Gavin yang dibalas tawa renyah kedua anggotanya.

Lelaki pendiam itu kembali melamun karena gelontoran Imukal membawa angannya melayang ke saat itu. Minuman hangat manis ini, bukannya amat disukai oleh seorang gadis aneh? Mata dan wajahnya sampai berbinar saat itu. Gavin ingat betul dia siapa, pramugari yang pernah tersesat di tubuh istrinya.

Istri, membahas tentang itu hanya membuat matanya berembun. Apalagi dua anggotanya yang berseri-seri itu makin tergelak saat memamerkan foto dan video anak-anak mereka. Bayi dan balita itu amat menggemaskan, membuat Gavin iri. Suami mana yang tidak ingin menimang bayinya sendiri, Gavin pun sama. Namun, apa daya garisan waktu belum berpihak padanya.

Di titik ini, Gavin masih harus berhenti di tempat. Memendam rindu yang semakin menderu dari hari ke hari. Tanpa bisa terucap, hanya bisa menyembul lewat untaian doa demi doa.

Untung saja, jam malam tiba. Sebagai yang tertua Gavin menitahkan sebagian pasukan untuk berjaga serambi, melaporkan setiap pergerakan kepadanya. Sebagian lagi beristirahat demi mem-back-up para rekannya. Mereka akan gantian jaga dalam beberapa jam sekali. Tentu mereka harus tetap menjaga kesehatan dan kondisi tubuh sebab alam ini ganas, daerah endemik malaria.

Cukup Gavin yang kurang tidur, karena dia bertanggung jawab untuk para pasukannya dan kedaulatan negara ini. Tak masalah tidur beberapa jam saja, toh dia tak pernah tidur nyenyak semenjak memendam rindu. Penugasan ini cukup mengusir kesepiannya akibat cinta yang jalan di tempat. Lebih baik dia bersyukur sebab kondisi malam ini tak semencekam malam-malam kemarin. Tak ada laporan yang menonjol dari regu di titik lain.

Membuat pria itu bisa sedikit santai di dalam tendanya. Duduk selonjor lengkap dengan sepatu lars, helm tempur, senjata di samping, dan seragam yang sedikit dirantau hujan. Tidak masalah asal dia bisa bebas memandangi foto kusut itu lagi. Lagi-lagi, melipur rindu dari selembar foto karena ponselnya kehabisan baterai sejak siang. Masih diisi daya oleh anggotanya, kemungkinan tak bisa penuh karena powerbank mulai menipis dan mereka harus berbagi daya.

Memendam rindu pada seorang wanita yang bernama Hana tidak pernah sesulit ini sebelumnya. Gavin bisa bebas mengungkapkan, melampiaskan lewat kata dan sentuhan jika Hana bisa dijangkaunya. Sayang kini mereka jauh. Bukan hanya jarak, tetapi juga waktu. Bukan perbedaan waktu, lebih ke dimensi.

Sang istri telah pergi ke suatu tempat yang tak bisa dijangkaunya. Sinyal telepon mana saja tak dapat menghubunginya. Pergi ke mana saja takkan bisa menemukannya. Uang berapa saja takkan bisa membantunya. Kecuali mereka sama, dimensi yang sama, alam yang sama. Ya, Hana telah meninggalkan Gavin dalam jarak yang jauh hingga lelaki itu hanya bisa menyebutnya dalam doa.

Hanya doa, untaian doa yang bisa diucap lelaki itu dalam pasrahnya. Dengan mata yang membasah, dia komat-kamit mengucap doa pada Sang Kuasa. Demi menerangi tempat tidur abadi Hana di sana, ya, di sisi Tuhan. Gavin tafakur, menengadahkan doa kepada langit. Berharap rangkaian hujan di titik penugasan ini membawa doanya ke atas sana.

---

Dua tahun yang lalu ....

Pajero Sport hitam berhenti di depan pagar tinggi rumah yang megah. Pengemudinya seorang pria berusia 29 tahun yang larut dalam kebimbangan. Dua hari Gavin tak bisa menghubungi Hana, tak tahu keberadaan Hana di mana. Menghubunginya pun tak kuasa. Dia rasa Hana ada di rumahnya, yang sedang dilihatnya kali ini.

Hai, Sea! (End/Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang