Episode 30 Hujan Pertama Musim Penghujan

Mulai dari awal
                                    

"Sea ... anakku, kamu su – sudah sadar, Nak? Demi Tuhan, kamu sudah membuka mata?" tanyanya dramatis sembari menyentuh pipiku, terasa hangat. "Kamu mendengar Mama, Sea? Dengar Mama, Sea?" ulangnya seperti orang aneh.

"M – M ...," jawabku terhalang mulut yang terasa lengket, suara tersekat kuat di tenggorokan. Berulang-ulang berusaha menggerakkan mulut, tapi tak bisa. Mereka erat dan rekat di balik masker karet ini.

"Ya ... jawab Mama, Sea!" suruh Mama sembari mengangguk-angguk penuh harap.

Tak lama dari itu, sebuah derap langkah terburu masuk ke dalam kamar. Pria-pria tinggi berjubah putih itu masuk sembari memasang masker dan merapikan baju lapis yang berantakan, mungkin karena buru-buru masuk. Mereka langsung berbaris mengelilingiku yang masih menatap kosong ke langit-langit kamar.

Lelaki berjubah putih yang memperkenalkan diri sebagai dokter Wildan itu menyinari kedua irisku dengan senter kecil. Tentu saja silau, membuatku spontan berkedip menghalangi sinar masuk. "Pasien berkedip saat diberi rangsangan, ya!"

"Bisa sebutkan nama Anda?" suruhnya kemudian.

Bagaimana aku bisa menjawab, menggerakkan mulut saja terasa susah. Keduanya lekat seperti diberi lem, reaksi yang sama saat tubuh lelaki berbaju loreng itu pergi siang itu. Maka, menggeram kecil menjadi jawabanku. "Kalau belum bisa menjawab, coba jawab dengan kedipan mata!" lanjut dokter itu kemudian.

"Apa Anda bernama Sea Rose Sophia?" tanya dokter itu yang kemudian kujawab sesuai perintahnya. Tak lama, senyum cerah terbit darinya, begitu pun dengan para manusia di ruang ini. Semua tampak bernapas lega.

"Apa Sea adalah seorang pramugari?" tanya dokter itu lagi dengan nada lebih ceria. Pertanyaan yang gampang, tentu saja jawabanku adalah ya!

"Y – yya ...," jawabku lirih saat masker oksigen dibuka. Akhirnya, bibir lengket itu bisa terbuka walau sedikit.

"Alhamdulillah ...," puji mayoritas manusia di ruang itu. "Pasien sudah sadar meski masih kebingungan," simpul dokter memandang Papa dan Mama.

"Selamat, Bapak dan Ibu! Semoga kondisi Sea terus membaik dan dapat segera pulih." Para dokter dan tenaga kesehatan itu menyalami Papa dan Mama bergantian. Beberapa bahkan mengelus kakiku yang masih tertutup selimut tebal. Mereka bahagia bak baru saja menyambutku kembali.

Mungkin, mungkin saja aku memang baru saja kembali dari tempat yang jauh. Awan-awan aneh itu hanya sebagian dari perjalanan jauhku. Melihat bahagianya mereka, seolah aku baru saja dihidupkan kembali. Jadi, kemarin aku sudah hampir pergi? Tunggu, bukankah itu hanya bagian dari mimpi burukku?

Terakhir, bukankah aku mengalami insiden menakutkan sepanjang karier penerbanganku? Bukankah aku ... ah, sakit sekali mengingat itu! Hingga keluar deras air mata ini, membuat Mama histeris menghampiriku. Membuat para dokter itu harus bekerja keras menenangkan Mama, termasuk Papa yang memeluk Mama begitu hangatnya.

"M – Mama ... Pap – Papa ... nor – norak ...!" cibirku di tengah tangisan sesak ini.

---

Memandang bulan, langit, dan lautan adalah rangkaian kegiatan tidak berguna yang kusukai. Tidak menghasilkan uang, tapi bisa membuat hati terasa damai. Bahagia jadi rembulan, dia cantik dan bisa berdiri sendiri di langit yang luas. Daripada matahari yang lebih perkasa, aku lebih suka bulan yang lembut sinarnya. Dulu, rela menghabiskan jatah tidur penerbangan redeye demi sinar rembulan di atas lapisan langit.

Sama seperti saat ini, di tengah gerimis pertama musim penghujan aku duduk bersandar pada ranjang yang sedikit ditegakkan. Sembari memandangi lekat bulan dari jendela kamar. Lima jam setelah sadar, aku mulai memahami apa yang terjadi padaku. Mungkin karena Mama yang tak ada hentinya mengoceh. Tak ada lelahnya dia bercerita, seperti aku yang tak ada lelahnya menyusun kepingan puzzle dalam otakku.

Hai, Sea! (End/Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang