13. Mas Damar Marah

33.3K 3.2K 120
                                    

Selama menikah dengan Mas Damar, ini adalah kali keempat aku menempelkan benda pipih panjang pada buku jurnalku. Sudah kali keempat pula benda pipih itu menunjukkan hasil yang sama. Aku mendesah penuh rasa sesal juga kecewa. Kembali kusimpan buku jurnal berwarna cokelat tua ini dibawah tumpukkan bajuku dalam lemari.

Berjalan gontai menuju dapur. Aku mengambil gelas dan mengisinya dengan air. Aku duduk dan menghabiskan air minumku hingga tak bersisa. Pandanganku mengedar ke seluruh ruangan. Sepi. Hening.

Mas Damar tidak ada dirumah. Ia pergi ke sukabumi sejak dua hari yang lalu. Ia memantau perkembangan penebaran pupuk dan obat disana dengan Mas Jizam dan Mas Tama.

Rencananya hari ini aku akan mengunjungi orangtuaku, dengan izin Mas Damar tentunya. Sudah satu bulan semenjak pulang dari kalimantan, aku sering merasa gelisah dan tak tenang. Terkadang, tangan dan tubuhku ikut bergetar hebat jika aku memikirkan sesuatu sampai berlebihan.

Setelah selesai merapikan rumah dan berganti pakaian, segera aku melangkah keluar dan mengunci pintu depan maupun belakang. Melihat di garasi, ada mobil Mas Damar yang bertengger disana. Jika saja aku cukup handal membawa mobil manual, sudah aku bawa pergi sedari kemarin porsche Mas Damar.

Biasanya jika Mas Damar pergi kunjungan, ia tidak membawa porsche-nya. Ia akan membawa mobil jeep hitam miliknya atau jika malas menyetir ia akan menumpang pada mobil rekannya. Seperti sekarang misalnya, ia pergi menggunakan mobil Mas Jizam.

Baiklah, sepertinya saatnya bernostalgia seperti saat aku duduk dibangku kuliah. Pergi kemanapun menggunakan motor. Menikmati jalanan Bandung sambil mendengarkan musik dari earphone yang kabelnya sering aku gulung dan masukkan kedalam jaket.

Aku mengeluarkan motor matic berwarna merah ini dari garasi, tak lupa mengenakan helm dan memeriksa kembali surat izin mengemudi dalam dompetku. Takutnya hari ini aku dicegat oleh bapak berseragam yang mengenakan rompi hijau. Meskipun sudah memiliki surat izin, tetap saja jantungku rasanya ingin meloncat keluar dari tempatnya. Aura bapak polisi ini memang luar biasa. Lemas aku baru lihat beliau dari jarak 2 meter saja.

Membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk sampai dirumah Abah. Setelah melepas alas kaki dan helm, aku berjalan masuk kedalam rumah. Tak sabar melihat Abah dan Mama yang sedang bercengkrama diruang tengah rumah ini. Ruangan yang biasanya tiap malam aku, Abah dan Mama akan menghabiskan banyak waktu. Makan martabak sambil menemani Abah menonton bola atau makan seblak sembari menemani Mama menonton serial TV nasional. Tuh kan, jadi kangen masa itu.

"Abah," panggilku ketika Abah tengah memegang mug yang terbuat dari seng. Mug kesayangan Abah.

"Lah, tumben siang-siang ke rumah."

Ish Abah, bukannya senang dikunjungi anak malah protes.

"Ih Abah mah, Lovita pulang teh bukannya seneng."

"Seneng atuh," ujar Abah seraya mencubit lenganku. "Gendutan kamu sekarang, senang nikah sama kaka tingkat di kampusmu dulu?" Tanya Abah.

Aku mendengkus sebal. Sudab tahu aku gendutan malah Abah perjelas. "Apa sih Bah ah, Mama Mana Bah?"

"Ada tuh lagi atraksi di dapur."

Tawaku lepas begitu saja ketika Abah mengejek Mama dengan memanyunkan bibirnya. Menunjuk arah dapur dimana Mama sedang memasak.

Sebelum menemui Mama, aku menyimpan singkong keju kesukaan Abah diatas meja ruang tengah. Lalu aku berjalan mengendap menuju tempat Mama beraksi. Alias dapur mini kesayangan Mama.

Mencium aroma masakannya saja aku sudah tahu Mama sedang memasak daging bistik. Makan siang kesukaan Abah. Biasanya Mama akan menghidangkannya dengan kentang rebus, kacang panjang rebus, juga wortel yang direbus.

Grow Old With You [ SEGERA TERBIT ]Where stories live. Discover now