Proposed

59.8K 4.6K 79
                                    

Menikah merupakan sebuah perjalanan terpanjang sepanjang hidup. Membina biduk rumah tangga, bukan hanya sekedar bercinta setiap malam, memadu kasih setiap pagi menjelang, berbincang hangat setiap fajar datang. Sebagian orang mungkin berpikir begitu. Akan tetapi nyatanya tidak. Disetiap pernikahan terkadang kita perlu menghadang kerikil kecil atau bahkan batu besar.

Dua manusia yang tengah bertukar cincin saat ini. Saling menautkan cincin pada jari manis mereka. Menggelar acara sederhana, didalam rumah minimalis milik keluarga Pradipta. Putri semata wayang Erlan Pradipta, berparas cantik, memiliki tubuh yang kecil dan mungil.

Lovita Deana Pradipta, gadis asal Bandung. Lulusan sarjana ilmu komunikasi disalah satu perguruan tinggi negeri favorit di Kota Bandung. Lovita merupakan sosok yang ceria, hangat, gemar bergurau, juga berwawasan luas.

Semua mengucap syukur ketika Lovita menerima pinangan dari Damar. Laki-laki yang terpaut tiga tahun lebih tua darinya. Laki-laki yang Abahnya pilih untuk menemani hari-hari Lovita kelak. Bukan, ini bukan embel-embel perjodohan, bukan juga karena mereka saling mencintai. Bukan.

"Cantiknya anak Abah," ujarnya seraya mengusap pucuk kepala Lovita dengan sayang.

"Makasih Abah," ucap Lovita penuh haru.

Lovita membalikkan arah langkahnya mendekat pada Damar yang tengah berbicang hangat dengan keluarganya. Damar tampak mengangguk-anggukkan kepalanya ketika keluarganya menyampaikan pesan atau petuah menjelang pernikahan. Lovita ikut tersenyum dari jarak jauh meskipun Damar tampak acuh.

"Mas Damar," panggil Lovita yang saat ini sudah berada didekat Damar.

Tanpa berucap, Damar menoleh kesamping dimana Lovita berada. Ia menatap Lovita tanpa menjawab panggilan wanita sampingnya kini.

"Mas Damar, boleh bicara sebentar?"

Damar mengangguk, ia meninggalkan keluarganya yang tengah asik berbincang mengenai pertunangan Damar dan Lovita tadi siang.

Damar dan Lovita berjalan menuju selasar belakang rumah, keduanya berjalan tanpa mengikis jarak. Damar menatap lurus kedepan, sedang Lovita menunduk memainkan kesepuluh jarinya dengan rasa yang berdebar.

"Mas Damar," panggil Lovita ketika mereka sudah duduk dikursi taman belakang rumah milik keluarga Pradipta.

Lagi, Damar menoleh menatap manik mata Lovita tanpa menjawab apapun.

"Makasih Mas Damar. Makasih sudah mau mengabulkan keinginan Abah. Meskipun Lovita yakin Mas Damar belum bisa menerima ini semua tapi Mas Damar tetap mengiyakan keinginan Abah. Sekali lagi, makasih Mas Damar."

Damar mengalihkan pandangannya kedepan dan mengangguk samar. "Iya, sama-sama."

"Mas Damar udah makan? Mau Lovita ambilkan?" Tanya Lovita semangat.

Damar menggelengkan kepalanya seraya tersenyum singkat, "Ngga papa, biar nanti ambil sendiri."

Lovita tersenyum mendengar suara berat Damar yang jarang sekali keluar. Butuh usaha ekstra agar Damar menjawab pertanyaan atau sekedar berdehem saja.

Damar dan Lovita merupakan kakak tingkat dan adik tingkat di fakultas yang sama. Damar, tiga tahun lebih tua dari Lovita. Keduanya secara tidak sengaja bertemu ketika kampus mereka mengadakan perayaan ulang tahunnya yang ke-60. Lovita dipilih menjadi panitia ulang tahun kampus atau lebih dikenal dengan Dies Natalis.

Damar yang saat itu menjadi ketua pelaksana, memilih beberapa panitia untuk diangkat menjadi koor divisi. Lovita yang tidak sengaja damar tunjuk, akhirnya menjadi koor divisi acara.

Butuh berbulan-bulan agar acara ini terlaksana dengan maksimal. Karena jabatan tersebut, akhirnya Damar dan Lovita lebih sering bertemu. Ketika rapat panitia inti pun mereka lebih sering berinteraksi. Tak jarang para panitia inti mengadakan rapat dari rumah ke rumah.

Grow Old With You [ SEGERA TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang