00. Seat Belt

47.1K 4.2K 39
                                    

Siang hari ini, aku dan Mas Damar bersama kedua ibu kami sedang dalam perjalanan menuju salah satu butik ternama di Kota Bandung. Tepatnya, rekan satu profesi dengan Ibunya Mas Damar. Meskipun beliau bukan warga asli Bandung, tetapi Ibu memiliki relasi yang cukup luas. Setelah aku dan Ibu sering berbincang hangat, aku jadi tahu bagaimana Ibu. Beliau sosok yang lembut dan ramah.

Aku duduk didepan, disamping kursi kemudi Mas Damar. Sedang, Mama dan Ibu mertuaku duduk di kemudi belakang. Sebenarnya tadi saat Mas Damar dan Ibu datang menjemput kami, aku kekeuh ingin duduk di kemudi belakang bersama Mama. Lantas, Ibu tersenyum melihat keteganganku yang melirik ke arah Mas Damar secara diam-diam. Ibu menarik bahuku dan menuntunku untuk duduk di kemudi depan, samping Mas Damar tentunya.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi jika Ibu mertuaku yang baik hati ini meminta. Aku akhirnya pasrah dan menurut lantas dengan cepat mengenakan seat belt.

Setelah tiba di tujuan, Ibu dan Mama turun terlebih dahulu sambil berbincang menggandeng lengan. Padahal, Mama dan Ibu baru bertemu beberapa kali tetapi mereka sudah berbaur dengan cepat. Ibu memang sosok yang supel dan terbuka pada semua orang, juga Mama.

Mereka meninggalkan aku yang dilanda ketegangan sedari tadi. Sedang Mas Damar, ia terlihat biasa saja.

Demi menghilangkan kecanggungan diantara kami. Aku membuka pintu mobil ini dengan cepat hendak menyusul Mama dan Ibu. Namun, ada yang menahanku. Menahan tubuhku. Sepetinya Mas Damar, lantas aku segera berbalik melihat ke arah Mas Damar yang menatapku dingin.

"Dibuka dulu seat beltnya Lovita," ujarnya.

Aku menunduk malu, bagaimana bisa berpikir Mas Damar menahanku? Nyatanya tidak.

Aku melihat tangan kirinya masih pada stir, sedangkan sebelah tangannya lagi menopang pada board switch power window. Jika dilihat seperti ini, Mas Damar dari dulu hingga sekarang tidak ada yang berubah. Masih seperti Mas Damar yang dulu, bedanya sekarang biceps dan bagian dadanya terlihat lebih kekar.

Aih, kenapa aku jadi melamun sih? Buru-buru aku membuka seat belt dan turun dari porsche panamera warna abu milik Mas Damar ini. Membukanya saja aku harus berhati-hati, mengingat harga mobil ini jika aku membandingkannya dengan isi tabunganku sudah jelas kalah duluan.

Mas Damar mengikuti langkahku dari belakang, kami berjalan menuju ruangan pelanggan VVIP yang Ibu dan rekannya siapkan untuk kami.

Ibu berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah kami. "Nah Lovita, Damar, kalian pilih-pilih aja mana yang cocok. Nanti kalau sudah sepakat, kasih pilihan kalian tadi ke Mba Oca. Biar diberi tambahan payet dan lainnya."

"Iya Ibu," Aku mengangguk dan terseyum pada Ibu. Berbeda dengan Mas Damar yang hanya mengangguk tanpa senyum.

Ibu menyerahkan katalog itu kepadaku. Ibu meminta kami memilih gaun pengantin dari katalog ini. Kemudian Ibu akan meminta rekannya untuk menambahkan beberapa payet agar gaunnya terlihat mewah.

Karena aku tidak terlalu tahu menahu bagaimana selera Mas Damar, jadi aku menujukkan beberapa katalog tuxedo padanya. Tentu yang menurutku terlihat cocok dan pas untuk Mas Damar. Aku hanya tahu satu, Mas Damar suka warna abu. Jadi aku pilihkan beberapa model tuxedo warna abu padanya.

"Yang ini, mau Mas?" Tanyaku hati-hati.

"Ngikut kamu aja," ucap Mas Damar singkat ketika aku menunjukkan pilihan tuxedo terakhir padanya.

Karena Mas Damar berkata demikian, aku mengangguk kemudian tinggal memilih gaun untukku. Sebenarnya aku suka warna burgundy dan lilac. Tapi, agar kami terlihat serasi aku memilih gaun tanpa lengan dengan warna abu muda.

Aku menoleh pada Mas Damar hendak meminta pendapatnya tentang gaun yang aku pilih. Mas Damar menatapku balik. Rasanya canggung lagi.

"Mas Damar, gaun yang ini menurut Mas Damar bagus ngga kalau aku pakai?" Tanyaku.

"Bagus, lebih bagus lagi kalau bagian dadanya lebih ditutup."

Aku mengerjap, berkedip berkali-kali. Kalimat terpanjang kedua yang Mas Damar ucapkan untukku.

Memang sepertinya memang bagian dadanya terlalu terekspose, aku akan meminta Mba Oca untuk menambahkan brookat dengan tambahan payet agar bagian dadanya lebih tertutup.

"Gimana, udah dapat pilihan belum?" Tanya Ibu pada kami.

"Udah Bu," jawabku seraya menyerahkan katalog tadi.

"Jadinya yang ini?" Sekarang Mama yang bertanya.

"Iya, Lovita sama Mas Damar pilih yang itu Ma. Tapi nanti Lovita minta ditutupi lagi bagian dadanya, terlalu terbuka."

Ibu dan Mama mengangguk setuju, juga Mba Oca yang ada dihadapan kami yang langsung mencatat dan menggambar sketsa gaunku dan tuxedo Mas Damar. Tentunya kami sudah melakukan pengukuran bagian tubuh kami sebelumnya.

"Pasti Damar yang minta, ya?" Tanya Ibu, lantas aku mengangguk sebagai jawaban.

"Damar memang begitu, adiknya pakai rok diatas lutut aja langsung kena omel. Apalagi kamu istrinya, jelas Damar akan lebih protektif."

Setelahnya aku mendengar tawa lepas dari Ibu, Mama dan Mba Oca. Aku hanya memandang mereka seraya menggaruk bagian leherku yang tidak gatal. Mas Damar pasti sedang acuh seraya melipat tangannya didada. Aku tidak mau lihat ke arahnya, nanti malah aku yang melamun lagi membayangkan yang tidak-tidak.

Ibu dan Ayah mertuaku, menetap sementara di Bandung selama persiapan pernikahan. Keluarga Adijasa, memiliki hampir 90% harta kekayaan hasil dari jual beli lahan dan dari hasil perkebunan. Siapa sih yang tidak tahu keluarga Adijasa? Jangan heran jika mereka mempunyai vila dan rumah disetiap daerah. Ayah dari Mas Damar memang berasal dari Bandung, sedangkan Ibu dari Mas Damar berasal dari Kuningan. Aku tidak tahu bagaimana Ayah dan Ibu bisa bertemu, yang pasti, Ayah dan Ibu jika sedang bersama seraya berbincang terlihat hangat dan lembut. Berbeda dengan putra sulung mereka yang terlihat acuh dan dingin.

Mama menepuk pahaku pelan, "Oh iya, wedding organizer sudah Mama atur. Ibu juga ikut andil pilih tema pernikahan kalian. Jadi, kalian santai aja ya. Biar Mama sama Ibu yang atur."

Aku berdehem dan mengangguk setuju dengan Mama.

"Ibu maunya wedding party kalian outdoor, ngga masalah, 'kan?" Tanya Ibu lembut padaku dan Mas Damar.

Aku tersenyum ke arah Ibu, "selama itu bikin Ibu sama Mama senang, Lovita ikut aja."

"Damar ngga salah pilih istri, Ibu senang punya menantu kayak Lovita."

"Makasih Ibu," aku memeluk Ibu singkat.

"Ibu yang makasih, makasih udah mau menerima anak Ibu yang super duper cuek. Kamu harus banyak sabar nanti kalau sudah serumah sama dia," jelas Ibu padaku seraya mengusap pundakku lembut.

Aku hanya tersenyum membalas ucapan Ibu. Sepertinya kedepannya aku butuh usaha ekstra untuk membuat Mas Damar menjadi sosok yang hangat.

 Sepertinya kedepannya aku butuh usaha ekstra untuk membuat Mas Damar menjadi sosok yang hangat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Grow Old With You [ SEGERA TERBIT ]Where stories live. Discover now