09. Maratua

30.9K 3.2K 104
                                    

"Ternyata disini panas ya, Mas."

Aku menyeka keringat didahi juga pelipisku. Peluh berucucuran sudah hampir satu jam. Aku nekat mengekori Mas Damar ke kebun sawit tengah hari begini. Padahal Mas Damar sudah mewanti agar aku berdiam di vila saja.

Tanganku bergerak lincah mencari tisu didalam tas. Jangan bilang aku lupa membawanya. Ah, bodoh.

"Cari apa?" Tanya Mas Damar.

Lihat, bagaimana ia bisa santai seperti itu sedangkan aku sudah seperti cacing kepanasan. Bergerak kesana kemari tak karuan.

Mas Damar mengenakan kaus lengan pendek berwarna hitam dan celana jeans sebatas lutut yang berwarna hitam juga. Tidak lupa, Mas Damar mengenakan baseball cap berwarna hitam dengan logo berukuran kecil segitiga bertuliskan Prada ditengahnya.

"Cari tisu. Tapi, kayaknya lupa aku masukkin," aku mendesah kecewa. Sudahlah. Pasrah saja. Pasti riasan wajahku sudah tak beraturan sekarang.

Meskipun hanya dikelilingi pohon tinggi dan intensitas bertemu orang sangat minim. Aku harus tetap merias diri, jangan sampai Mas Damar malu bawa aku karena penampilanku yang berantakan. Cukup saat aku perawan saja mandi satu kali sehari, keluar tanpa polesan dan memakai kaus yang sudah lusuh. Tapi jujur, kaus itu sangat nyaman. Bahkan, sekarang masih kusimpan dalam lemariku dirumah Abah.

Mas Damar membuka topinya dan menyurai rambutnya yang masih wangi menthol. Suamiku ini kenapa wangi sekali sih meskipun berkeringat?

"Ini pakai, biar ngga panas," ia memakaikan topinya padaku.

Kemudian punggung tangannya bergerak mengusap keringatku yang masih bercucuran didahi juga pelipis. "Kan udah dibilang jangan ikut, mandi keringat 'kan jadinya."

Aku hanya tertawa pelan tanpa beban. Biar saja. "Sekali-kali ikut suami kerja. Ngga boleh?"

"Iya boleh, aku ngga mau aja kamu jadi kecapekan kayak begini."

"Aku ngga capek Mas, aku cuma kepanasan," protesku tak terima.

"Iya, iya. Harus gimana biar kamu ngga kepanasan?"

"Ngga gimana-gimana Mas, lanjut cross check lagi sana. Aku ngga apa-apa, serius."

"Beneran?" Tanyanya ragu.

Aku menarik nafas panjang sebelum menatapnya. "Iya Mas Damar sayang, sana lanjut lagi."

"Ulangi," ucapnya.

"Ulangi apa?" Tanyaku bingung.

Mas Damar mendekatkan wajahnya padaku. "Ulangi yang tadi."

Aku mengerutkan kening dan menatapnya heran. "Yang mana? Lanjut lagi sana?"

Mas Damar berdecak gemas melihatku. "Bukan. Yang tadi, iya Mas Damar apa tadi?" Tanyanya lagi mendesak.

Aku terkekeh pelan dan memutar bola mataku kearahnya. "Iya Mas Damar sayang. Sana lanjut lagi cross check."

Mas Damar tanpa berpikir panjang, ia mencium bibirku, lama. Aduh. Mas Damar, kita dilihatin tahu sama pekerja Mas.

Aku memukul dadanya keras dan berdecak sebal. Melirik sekilas ke arah pekerja yang tengah menggelengkan kepalanya dan tertawa kecil. Nah kan, apa kubilang.

"Mas, kita ngga berdua disini. Malu."

Mas Damar menoleh kebelakang, menatap lurus para pekerja yang tengah menatap gemas ke arah kami.

"Tenang Pak, kita ngga lihat!" Seru salah seorang pekerja dari arah sana.

Mas Damar malah mengacungkan jempolnya dengan raut wajah datar dan dingin. Sabar Lovita, suamimu ini memang luar biasa.

Grow Old With You [ SEGERA TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang