12. Sakit

29.3K 3K 48
                                    

Ini adalah minggu pagi. Yang seharusnya jumat sore kami sudah pulang namun ditunda karena Mas Nata minta tambahan satu hari lagi berlibur disana. Jadi, sabtu malam kami baru sampai di Bandung. Karena aku tidak mampu lagi untuk sekedar merapikan, alhasil baju, barang dan perlengkapan lainnya pun masih tertata rapi didalam koper. Tidak patut dicontoh si pemalas ini.

Aku terusik ketika sorot cahaya matahari memasuki seluruh penjuru kamar kami. Rasanya semalam aku menyalakan pendingin ruangan. Tapi kenapa leher, punggung juga perutku terasa panas dan berat. Lantas segera aku membalikkan tubuhku. Mas Damar masih tidur dengan damai sambil memelukku erat. Perlahan, kulerai pelukkannya. Tanganku terulur menyentuh dahinya. Kupastikan lagi jika sumber panas tadi bukan darinya.

Tapi, tunggu dulu. Mas Damar demam. Badannya panas.

Segera aku duduk dan mencari dimana alat pengatur suhu ruangan. Kumatikan seraya berdecak sebal, ah bodoh. Pasti Mas Damar masuk angin. Pasalnya, setibanya kami di rumah. Aku dan Mas Damar belum mengisi perut lagi.

"Ta," panggil Mas Damar nyaris berbisik dengan suaranya yang melemah. Matanya masih terpejam sempurna.

Aku naikkan selimut tebal berwarna biru tua ini sebatas bahu Mas Damar. "Mas Damar sakit."

Ia mengangguk kecil.

"Mas Damar badannya panas," kataku lagi seraya mengusap dahinya lembut.

Ia mengangguk lagi.

"Aku buatin bubur ya? Tapi agak lama. Atau mau beli aja biar cepet? Mas belum makan apa-apa lagi 'kan semalam."

Ia menggeleng dan membuka matanya perlahan. "Kamu," ujarnya.

"Aku? Apa?" Tanyaku.

"Bubur bikinan kamu aja," lalu ia memejamkan matanya lagi.

Aku turun dari ranjang dan mendekat ke sisi ranjang samping Mas Damar. "Mas kepalanya pusing, ngga?" Tanyaku.

Ia mengangguk dan membawa tanganku untuk dipeluk. "Dingin, Ta."

Aku gelagapan. Bagaimana ini? Pertama kalinya Mas Damar sakit. Aku belum tahu apa yang biasa ia makan jika sakit. Obat apa yang biasa ia minum jika demam atau pusing. Karena setiap orang pasti berbeda penanganannya.

"Iya, tunggu sebentar ya. Aku ambil kompres dulu."

Mendadak aku lupa dimana menaruh baskom kecil. Alih-alih mencarinya, aku mengambil mangkuk sayur saja biar cepat. Untungnya aku ingat jika menyimpan handuk kecil dinakas samping tempat tidur.

Setelah selesai kukompres dahi Mas Damar. Segera aku ke dapur. Menanak nasi dengan air kaldu ayam yang sebelumnya aku simpan dalam lemari es. Ingat, air atau kaldunya harus banyak agar nasinya menjadi bubur.

Sembari menunggu buburnya jadi. Aku berlajan ke kotak kayu kecil atau kotak obat yang menggantung di dinding. Biasanya aku menaruh obat dan aid kit disana. Termometer sudah aku temukan. Tinggal paracetamol yang belum aku temukan. Dimana, sih? Jangan-jangan tidak ada?

Aku mematikan kompor yang masih menyala kemudian berlari secepat kilat ke rumah Mbak Ine. Karena rumahnya berada tepat di seberang rumah kami.

"Mbak Ine, Mas Nata," aku menekan bel rumah mereka. Juga mengetuk pintu kayu jati itu dengan sedikit keras.

"Mbak Ine, Mas Nata," panggilku lagi nyaris berteriak.

Terdengar langkah kaki seseorang dari dalam. Juga kunci pintu yang dibuka. Mbak Ine dengan daster selututnya, sepertinya ia juga masih beristirahat.

"Kenapa, Ta?" Tanya Mbak Ine seraya mengucek mata dengan tangannya.

Aku mengaduh, jadi mengganggu 'kan. "Mbak Ine maaf ganggu ya, aku mau minta paracetamol Mbak. Kira-kira Mbak punya ngga?"

Grow Old With You [ SEGERA TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang