"Dasar pick me. Selama ini lo begitu, nggak nyadar, hah!" cerca April.

"Aku nggak pick me, aku-"

"Permisi, neng. Ini minumannya ya."

Namun, percakapan harus terpotong oleh kedatangan Ibu kantin yang membawa minuman lalu menyajikannya satu-satu ke depan kami.

Lenggang kondisi dimeja kami sampai beberapa menit mendatang. Semuanya khidmat menyantap hidangan masing-masing, sesekali dentingan alat makan memasuki membran timpani.

Dalam piringku terdapat telur setengah matang, kubuka bagian tengahnya seperkian detik kemudian kuning telur meleleh keluar, satisfying.

"Iiihh telurnya setengah mateng, aku sih nggak suka telur setengah mateng," komentar Karin menatap piringku.

"Selera orang beda-beda." Aku menanggapinya santai.

"Emang enak ya, Leta? Leta nggak takut salmonela?"

"Mulut lo bisa diem nggak, Rin?" tanya April.

"Iiihh apasih April? Aku kan cuma nanya. Lagian aku khawatir sama, Leta, nanti kalau dia sakit gimana?"

***

Uhuk! Uhuk!

Entah kenapa aku mendadak batuk-batuk parah.

"Lo nggak apa-apa, Dek?" tanya Sean cemas mendengar aku batuk-batuk. Ia baru saja menghampiriku yang berdiri di pinggir lapangan basket.

Sehabis makan di kantin, Sean minta ditemani menemui pelatih basket, ia sebagai kapten basket dipanggil sang pelatih ke lapangan.

"Enggak tau nih-uhuk! Aku ngerasa tenggorokan aku-uhuk! Panas."

"Duduk dulu." Sean menuntunku duduk ditribun.

"Uhuk! Pa-panashh, Bang," desisku saat tenggorokanku terasa terbakar.

"Apanya yang panas?"

"Tenggorokan-"

"Muka lo juga merah, lo alergi?

"Nggak tau."

Aku tidak ada riwayat alergi apa pun. Aku yakin tubuh Alleta lah yang alergi akan sesuatu.

Aku tak fokus lagi melihat sekitar sebab rasa terbakar ditenggorokan lebih mendominasi, meski demikian diriku masih sadar begitu merasakan tubuh ini melayang digendong oleh Sean seperti pengantin.

"Mana sih yang jaga UKS," desis Sean setelah membaringkanku ke atas kasur.

"Panas banget ya?" tanya Sean cemas ditambah air muka khawatir dan telapak tangannya membingkai kedua belah pipiku.

Aku mengangguk pelan sebagai balasan sembari tangan kanan menekan leher berharap rasa panasnya dapat berkurang.

"Bang, gu-gue, gue butuh air dingin, panashh," kataku megap-megap hampir kehabisan napas.

Bukannya pergi membeli apa yang aku butuhkan Sean justru memajukan wajahnya, menekan rahangku agar mulutku terbuka, kemudian mendaratkan bibirnya pada bibirku.

Aku langsung melotot begitu merasakan udara dingin ditiupkan masuk ke dalam mulutku, memasuki tenggorokanku yang panas dan langsung berubah hangat-hangat sejuk. Seolah aku baru saja memakan sebuah permen mint.

Sean menjauhkan wajahnya. "Masih panas?"

Ketika Sean ingin menciumku lagi, cergas tanganku menahan dada bidangnya. Wajah kami sejajar dan aku bisa leluasa melihat kedua mata gelap segelap malam milik Sean secara bergantian.

"Ke-kenapa lo cium gue?"

"Gue nolongin lo, masih panas nggak?"

Rasa panasnya memang berkurang namun bukan itu lagi yang aku pikirkan sekarang.

"Dua kali. Dua kali lo cium bibir gue. Yang pertama lo bilang nggak sengaja, gue terima alasan lo. Terus sekarang apa? Lo mau buat alasan kalau lo cuma nolongin gue?"

"Perlakuan lo udah nggak wajar Sean. Ingat, kita saudara! Apa lo nggak ada rasa canggung saat nyium bibir adek lo sendiri?"

"Gue panik liat lo kehabisan napas makanya tadi langsung gue cium. Lo pasti tau kan kalau orang panik suka nggak mikir apa pun sebelum bertindak," jelas Sean.

Make sense, sama seperti jika ada orang yang tenggelam. Keluarga, pacar, bahkan orang asing bisa panik dan langsung memberikan napas buatan atau semacamnya untuk menyelamatkan si korban.

"Aduh!" Aku memegang pelipisku yang tiba-tiba disentil oleh pemuda jangkung di depanku. Dengan bibir mengecut aku menyorot tajam pada Sean.

"Apaan sih! Sakit tau!" dumelku.

"Jangan mikir aneh-aneh!" peringat Sean. "Gue masih waras, nggak sakit jiwa. Nggak mungkin gue mau macam-macam sama lo yang notabene-nya adek gue sendiri."

"Siapa juga yang mirik aneh-aneh."

"Terus kenapa lo nanya kayak tadi kalau nggak mikir aneh-aneh, uh?"

"Ya ... itu kan karena tingkah lo yang buat gue negatif thinking."

"Tingkah gue yang mana yang buat lo mikir buruk? Coba jelasin?"

"Sikap lo kayak cowok perhatian ke ceweknya."

"Wajar dong gue cowok perhatian sama adek cewek gue."

"Susah emang ngomong sama lo. Yang gue maksud di sini, lo udah kayak pacar, ngerti nggak sih?" kataku penuh penekanan supaya ia paham. "Kan nggak lucu kalau misalnya lo punya kelainan suka sama saudara sendiri."

Sean diam cukup lama sampai akhirnya ia membantah. "Gue nggak gitu."

"Ya udah bagus kalau nggak, kalau iya kan-"

"Kalau iya kenapa," sela Sean memotong kalimatku.

"Ya lo pikir aja? Ngerilah!"

"Um ... lo nggak suka sama gue kan?" tanyaku memastikan.

"Nggak." Sean menjawab.

Jujur aku kecewe mendengar jawaban Sean, aku suka padanya bahkan telah jatuh cinta. Tapi tak bisa diungkapkan jika masih berada diraga adiknya kecuali aku sudah kembali ke tubuh asliku.

A or A [New Version]Where stories live. Discover now