Hai Ci Laura, apa kabar? Sejak pertemuan terakhir kita di Ofra, aku cukup disibukkan dengan macam-macam persiapan untuk berangkat ke Jerman. Aku rasa Cici juga sibuk dengan kegiatan sehari-hari di rumah sakit. Makanya udah lama banget kita nggak saling kontak. Seenggaknya itulah yang selalu aku tanamkan di benakku, yang selalu berusaha aku percaya setiap kali aku kepikiran lagi kejadian malam itu di Ofra, meskipun jauh di dalam hati aku tau bukan kesibukanlah yang bikin kita jauh.

Ci, seumur hidup aku cuma pernah dengar nama Ci Laura disebut satu dua kali sama Mama, sekilas aja saat cerita tentang silsilah keluarga kita. Aku nggak pernah tau siapa Ci Laura lebih dari sekedar sepupuku yang paling tua, yang usianya beda 16 tahun denganku, yang sekolah di Perth dan nggak pernah pulang ke Indonesia, yang nggak pernah bertemu sama sekali denganku sejak aku lahir, sampai dengan hari itu, hari di mana aku menemukan buku harian Ci Laura.

Saat itu aku kelas 3 SMP. Aku ikut Mama ke rumah Ci Laura karena Mama ada perlu sama Tante Nina. Aku tau kalau sikapku kurang ajar, tapi entah kenapa aku penasaran banget sama Ci Laura. Rumah Ci Laura yang luas begitu kosong dan sepi, dingin, nggak ada satupun foto keluarga, dan itu membuatku semakin penasaran. Aku berjalan ke setiap sudut rumah Ci Laura dan menemukan kamar Cici. Aku masuk ke sana, melihat koleksi buku-buku Ci Laura di rak, dan di antaranya aku temukan buku harian yang tersembunyi. Sekali lagi, aku minta maaf karena udah begitu kurang ajar baca-baca buku harian Ci Laura tanpa izin.

Ternyata, kita pernah bertemu. Ternyata, bukan cuma pernah bertemu, kita pernah tinggal bareng. Iya, aku tinggal bareng Ci Laura sewaktu Cici mengandung aku. Aku pernah ketemu Ci Laura sewaktu Cici melahirkan aku. Ternyata kita saling kenal, lebih dari itu, ternyata aku anak kandung Ci Laura. Jelas, aku kaget bukan main. Jadi, Laura Sudibyo, sepupuku yang selama ini nggak pernah aku kenal ternyata adalah ibu kandungku. Gimana bisa? Apa yang terjadi? Aku punya sejuta pertanyaan yang begitu kusut di dalam dalam kepalaku, saking kusutnya sampai aku nggak tau gimana merangkainya dalam kata-kata.

Setiap halaman yang aku baca membuatku merasa lebih dekat lagi dengan seorang Laura Sudibyo, yang selama ini cuma pernah kudengar namanya. Aku jadi tau, ternyata Ci Laura suka nasi ulam. Aku senang banget, ketika menemukan beberapa kesamaan dengan Ci Laura. Ternyata Cici juga suka gambar, terutama gambar-gambar arsitektur. Bahkan, Ci Laura sempat ingin jadi arsitek. Sayangnya orangtua Cici nggak mendukung, malah bilang bahwa bakat Ci Laura itu nggak berguna. Ci Laura tau, kenapa aku ingin jadi arsitek? Karena ada satu sketsa Cici yang aku temukan di buku ini. Di situ Ci Laura tulis kalau Cici mau punya rumah sendiri suatu hari, supaya Ci Laura bisa hidup bebas dari rasa takut dimarahi atau dipukul orangtua Cici. Aku ingin jadi arsitek untuk bisa menyempurnakan sketsa itu dan memberikannya ke Ci Laura sebagai hadiah.

Di antara rasa deg-degan dan senang setiap membaca tulisan Cici, sering kali juga aku merasa sangat, sangat sedih. Bukan karena Ci Laura menyerahkan aku ke Mama, tapi karena Cici punya kehidupan yang jauh berbeda denganku, yang sebetulnya nggak pantas Ci Laura alami. Mama dan Papa selalu mengajariku dengan sabar, memberiku kesempatan belajar banyak hal, dan terutama nggak pernah menyepelekan aku apalagi membuatku merasa kecil dan nggak berguna, sekalipun aku bukan anak kandung mereka.

Itu sebabnya, bagiku, cuma ada satu orang yang ingin aku panggil Mama dan Papa, yaitu Mama dan Papa yang selama ini merawat dan membesarkan aku. Mereka orangtuaku, itu yang aku tau seumur hidupku dan itu yang akan aku tetap ada di pemikiranku sampai seumur hidupku. Bagiku, Cici akan tetap menjadi seorang Ci Laura seumur hidupku. Tapi, aku cuma bisa meminta dan berharap supaya Ci Laura membolehkan aku hadir di kehidupan Cici.

Aku nggak mengharapkan hubungan ibu dan anak pada umumnya dengan Ci Laura. Aku udah punya Mama yang memberikanku semua yang aku inginkan. Aku nggak perlu Ci Laura mengakui aku sebagai anak. Mama dan Papa udah mengakui aku sebagai anaknya, itu udah lebih dari cukup. Aku bahkan nggak perlu penjelasan apapun dari Ci Laura: bagaimana aku bisa lahir, ayah kandungku siapa, apakah Ci Laura menyesal udah melahirkan aku, aku nggak ingin tau apapun tentang hal itu.

Dan aku percaya, walau sikap Ci Laura dingin terhadap aku, walau Ci Laura berulang kali berusaha mendorong aku pergi dari kehidupan Cici, tapi sebetulnya jauh di lubuk hati Ci Laura sebetulnya ada jiwa yang penuh kasih. Itu sebabnya Ci Laura nggak menggugurkanku. Itu sebabnya Ci Laura melahirkanku. Itu sebabnya Ci Laura memberikanku untuk diasuh Mama dan Papa yang begitu Ci Laura hormati dan percayai. Itu sebabnya Cici pulang ke Indonesia setelah sekian lama tinggal di luar negeri. Itu sebabnya Ci Laura rela datang dari Jakarta ke Bandung untuk melakukan transfusi darah buatku saat operasi usus buntu. Itu sebabnya Cici khawatir sama aku sewaktu aku dijambret dan kepalaku bocor. Itu sebabnya Ci Laura datang jauh-jauh ke Bandung ngebawain nasi ulam buatku.

Terima kasih ya, Ci Laura. Karena Cici telah melahirkanku, aku jadi bisa melihat dan merasakan banyak berkat yang luar biasa indah di dunia ini: sekolah, kuliah, belajar banyak hal baru, mengalami hal-hal yang seru, teman-teman yang baik dan terutama cinta kasih Mama dan Papa untukku. Jasa Ci Laura begitu besar dalam hidupku, memberiku kesempatan untuk hidup dan melihat dunia.

Aku nggak benci sama Ci Laura dan nggak akan pernah membenci Cici sampai kapanpun. Aku cuma berharap Ci Laura menganggapku ada dan kita bisa menjalin hubungan yang baik, sebagai sesama saudara yang bisa berbagi cerita, tawa dan kesedihan bersama. Itu aja cukup. Aku cuma berharap, sungguh aku sangat berharap Ci Laura mau menerimaku di dalam hati Cici. Take care ya, Ci Laura. Salam untuk Dokter Ergi.

Hati Laura luluh lantak selesai membaca surat Aimee. Tubuhnya gemetar hebat. Seketika Laura jatuh terduduk, meremas kertas di tangannya. Dunianya mendadak hening, seolah-olah Laura berubah tuli. Tangisnya pecah, mengerang pelan seperti orang yang sedang menahan sakit. Laura tidak bisa berhenti terisak, meskipun napasnya terasa sesak dan sakit. Sungguh, seumur hidupnya, Laura tidak pernah merasakan perih seperti sekarang. Di dalam hatinya, dengan perasaan yang paling tulus, Laura berbisik pelan, "Aimee, maafin aku."

20 Juni: Hari ini anakku lahir. Aku beri dia nama Aimee, artinya dicintai, supaya dia selalu dicintai siapapun yang dia temui dalam hidupnya, supaya dia nggak bernasib sama seperti aku.

~

SINCERELY (Completed)Where stories live. Discover now