Bab 16

8.6K 1K 22
                                    

Funeral means involuntary family gathering. Dia hanya pernah sekali menghadiri pemakaman, yaitu pemakaman ayahnya. Saat neneknya meninggal, Laura masih sekolah di Perth dan tidak bisa pulang ke Bandung. Family gathering means social torture for her. Setiap keluarga pasti memiliki anggota yang 'begini begitu', black sheep of the family, dan dalam keluarga besar ibunya, orang itu adalah dia.

Saat Laura melangkah masuk ke ruang tempat jenazah ibunya bersemayam, dia merasakan udara dingin yang begitu menusuk. Semua mata tertuju padanya. Semua mata memindainya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Semua mata sibuk mencari-cari kesalahan apa yang bisa mereka temukan dari dirinya. Untuk apa lagi kalau bukan untuk dijadikan bahan pergunjingan setelahnya?

Kali ini, Laura menjadi pusat perhatian ekstra. Bukan cuma karena yang meninggal adalah ibunya, anak sulung konglomerat perkebunan tembakau di Jawa Barat, tetapi karena Laura membawa serta laki-laki asing bersama dengannya, yaitu Ergi. Siapa Ergi? Pacarnya? Suaminya? Kapan mereka menikah? Mana anaknya? Mereka sibuk melongok-longok, tetapi tidak menemukan sosok lain yang mengekor selain Aimee.

Tatapan mata sepupu-sepupunya, om dan tantenya, semua begitu dingin menghujam Laura. Dalam hati mereka cemas dan bertanya-tanya, setelah Nina, ibunya Laura meninggal, kepada siapa bisnis keluarga mereka akan diwariskan? Jangan bilang kepada Laura. That would be an outrage.

"Laura."

Yang menyapanya dengan hangat hanyalah Tante Rena. Dia dan Om Lim duduk di pojokan, tidak terlihat berbaur dengan yang lain. Om Lim sibuk melipat kertas simbolisasi uang di kehidupan selanjutnya, yang harus dibakar ketika kremasi, sesuai tradisi Tionghoa. Om Lim mengangguk, menyunggingkan senyum tipis pada Laura, sebagai tanda sapaannya. Meskipun sesederhana itu, sapaan Om Lim terasa begitu hangat di hati Laura. Aimee segera berdiri di samping ibunya, terlihat senang bahwa dia sudah pulang.

"Terima kasih, Tante Rena udah bantu ngurus ini semua," ucap Laura. "Oh ya, ini Dokter Ergi."

Laura memperkenalkan Ergi pada Tante Rena. Mereka bersalaman.

"Dokter Ergi yang operasi aku waktu usus buntu kemarin," Laura menjelaskan. "Karena aku belum bisa nyetir lama, Dokter Ergi yang bantu nyetirin aku dan Aimee ke sini."

"Ah. Terima kasih, Dok." Tante Rena menyunggingkan senyum kecil.

Ergi jadi salah tingkah. Laura menyebut namanya dengan begitu sopan dan formal, Dokter Ergi. Laura membuat dirinya juga terlihat begitu berjasa. Ergi membalas senyum Tante Rena sambil mengangguk sopan.

"Oh, kalian pasti lapar, kan? Makan dulu aja. Ada buffet di ruangan sebelah."

Pemakaman ibu Laura terkesan seperti sebuah hajatan, sebuah pesta dengan meja prasmanan dan makanan yang mengundang selera. Di ruangan sebelah, ada lebih banyak lagi tamu dan beberapa om-tante Laura. Saudara jauh, rekan bisnis, wajah-wajah yang tak satupun dikenal Laura. Karangan bunga memenuhi ruangan tersebut, bahkan meluap hingga ke lorong. Ergi baru sadar latar belakang keluarga Laura yang tak pernah mau diceritakannya. Tidak heran, dia naik mobil Alfa Romeo.

"Laura?"

Saat Laura selesai menyendok makanan ke piringnya, tiba-tiba dia mendengar ada suara yang memanggil namanya. Seorang perempuan seumuran dengan Laura berjalan menghampirinya. Matanya melebar, sibuk mengamati wajah Laura.

"Laura Sudibyo, kan? Yang dulu sekolah di BIS?"

Deg! Jantung Laura mencelus. Siapa orang ini? Kenapa tahu banyak sekali informasi tentangnya?

"Siapa, ya?" tanya Laura balik.

"Aku Diana, teman sekelasmu di BIS waktu kelas 12!" jawab Diana, penuh semangat.

Tiba-tiba Laura ingat siapa dia, meskipun samar-samar.

"Kamu Laura pacarnya Maxime, kan?" Diana masih mencecar. "Apa kabar? Ternyata benar, ya, kamu anaknya Ibu Nina. Suamiku business partner-nya Ibu Nina. Saat dengar namanya, aku samar-samar ingat, kayaknya kamu anak konglomerat perkebunan tembakau. Ternyata benar, itu kamu, Laura! Duh, wajahmu nggak berubah banyak, ya, sejak SMA!"

Laura hanya meringis dengan canggung. Tidak ada gunanya juga menyangkal.

"Kamu ke mana aja selama ini? Semua orang di sekolah bingung saat kamu tiba-tiba menghilang begitu aja. Maxime juga bingung, kasihan tau, dia kamu tinggal kayak gitu. Eh, kamu masih kontak nggak, sih, sama Maxime? Dia di mana sekarang? Masih di Perancis? Kabar yang terakhir kita dengar dari Maxime waktu lulus SMA, dia lanjut kuliah di Paris."

Kepala Laura mendadak berdenyut sakit. Maxime. Maxime. Maxime. Tiga kali nama itu disebut dalam ocehan panjang lebar Diana yang tidak ingin didengar Laura.

"Semua tuh—"

"Maaf." Ergi menyela ucapan Diana. "Saya dan Laura harus balik ke ruangan sebelah. Ada yang harus diurus bareng keluarga."

"Oh." Mulut Diana menganga. Sejak tadi dia tidak menyadari kehadiran Ergi. "Kamu...?"

"Saya suaminya," Ergi tersenyum. "Permisi."

Laura melotot mendengarnya, sama terkejutnya dengan Diana. Suaminya?! Apa Ergi sudah gila, mengaku-ngaku diri sebagai suami Laura di pemakaman ibunya yang dihadiri sejuta umat?! Meskipun terheran-heran, Laura tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk kabur dari Diana. Dia mengikuti langkah Ergi keluar dari ruangan, dengan sepiring makanan di tangannya. Ergi baru berhenti berjalan ketika mereka sudah jauh dari ruang jenazah ibu Laura. Ergi duduk di tangga, lalu mulai menikmati satu per satu hidangan yang tadi diambilnya.

"Mmm. Nggak nyangka, ternyata makanan di rumah duka itu enak juga." Ergi menggumam, sambil sibuk mengunyah.

"Kamu gila, ya?" Laura mendesis. "Kenapa kamu ngaku-ngaku sebagai suami saya?!"

"Didn't I just save your life?" Ergi membalas, dengan wajah tanpa dosa. "Kamu risih, kan, dicecar cewek yang mulutnya ngoceh kayak air bah itu?"

Laura terdiam.

"Saya tau, kamu merasa nggak nyaman bicara dengan dia. Lebih mudah saya ngaku suami kamu dan tarik kamu keluar, kan, daripada kamu sendirian berkelit?"

Ergi mengunyah makanannya dengan rakus. Cepat dan tidak berhenti-henti. "Mmm. Enak banget ini mie gorengnya. Lagian, saya pusing denger orang itu ngomong cacacecet, nggak ada titik, nggak ada koma. Kapan napasnya, coba?"

Laura menghela napas untuk menahan tawa. Walau berat, harus dia akui bahwa Ergi memang sudah menolongnya. Dia ikut duduk di sebelah Ergi.

"Terima kasih." Laura menggumam.

Ergi mengulum senyum. Dia menyuapi mulutnya lagi dengan makanan, sambil melirik piring Laura. "Eh, kamu ngambil kerupuknya banyak juga. Bagi, dong."

Gantian Laura yang menahan senyum. Dia mengangguk. Strange, but somehow, suddenly eating with Ergi doesn't feel like an annoyance anymore.

~

SINCERELY (Completed)Where stories live. Discover now