Bab 10

10K 1.2K 42
                                    

"Happy birthday, Laura!"

Laura terperanjat mendengar ucapan yang begitu ceria di telinganya. Hari ini memang hari ulang tahunnya, tapi selama ini tidak ada yang tahu. Dia menatap sebatang cokelat yang disodorkan kepadanya, lengkap dengan sebuah kartu kecil yang ditempel di bungkus cokelat. Kalau dia terima, sudah pasti seantero sekolah akan langsung tahu hari ulang tahunnya. Rasanya lebih aman jika dia menolak dan menyangkal.

"Jangan nyangkal, gue yakin seratus persen kalau hari ini hari ulang tahun lo. Kecuali, kalau lo bohong ke pihak sekolah."

Laura mengernyit. Dia bingung bagaimana orang ini bisa mendapat akses ke data dirinya di sekolah.

"Gue ngorek-ngorek arsip sekolah pas kena detention, nyari data-data lo."

Laura terkejut mendengarnya, seolah-olah pikirannya bisa dengan gamblang dibaca. Namun, dia menjadi semakin heran. "Buat apa?"

"Well, isn't it obvious? You are the prettiest, yet the most mysterious girl in this school. Gue pengen tau lebih banyak lagi tentang lo, karena gue suka sama lo."

Kedua mata Laura melebar mendengarnya. Obviously, belum pernah ada orang yang menyatakan perasaan kepadanya. Kadang-kadang dia mendapat surat cinta dari orang tak dikenal yang diletakkan di atas mejanya di kelas, tapi tidak pernah ada orang yang betul-betul bertatap wajah dengannya dan menyatakan perasaan. Banyak sekali orang yang segan berhadapan dengannya. Banyak predikat dan label yang dilekatkan pada dirinya. Anak konglomerat, pasti sombong. Jenius yang langganan juara umum, pasti belagu. Paling cantik satu sekolah, pasti arogan. Hanya Maxime, murid baru blasteran Perancis yang langsung mencuri perhatian sejak awal kemunculannya di sekolah, yang pertama kali berani datang kepada Laura tanpa ragu.

Akhirnya tangan Laura terulur, menerima hadiah dari Maxime, beserta kartu ucapan yang penuh dengan kata-kata yang tak kalah manis dengan cokelatnya. Little did she know at that time, that she was accepting a sweet poison. Hidup Laura akan berbeda seratus delapan puluh derajat andai saja saat itu dia menyangkal, menolak pemberian Maxime dan sama sekali tidak memilih berurusan dengannya.

Perlahan-lahan Laura membuka matanya. Sosok Maxime sudah pergi, digantikan oleh langit-langit rumah sakit. Tubuhnya terasa lemas. Alih-alih suara ribut murid-murid yang sedang beristirahat, Laura mendengar suara isak tangis yang pelan. Dia menolehkan kepalanya. Ada sosok Aimee yang duduk di tepi ranjang. Aimee menyadari Laura yang sudah sadar, kemudian buru-buru menyeka matanya.

"Ci Laura udah bangun?" ucapnya. Dia segera berdiri, ingin melihat langsung apakah Laura sudah betul-betul membuka matanya.

"Kamu ngapain nangis?" tanya Laura lirih. Tadinya dia ingin bertanya 'Kamu ngapain di sini?' namun, di antara kesadarannya yang baru sebagian kembali pun, dia tahu kalimat itu akan menyakiti hati Aimee jika terucap dari bibirnya.

"Nggak." Aimee menyangkal, memaksakan senyum di wajahnya. "Gimana rasanya, Ci? Udah enakan?"

Laura hanya mengangguk lemah. Dia tidak mau menjelaskan panjang lebar yang membuat Aimee malah semakin bingung atau khawatir. "Kamu pulang aja. Nggak usah panik."

"Nggak ap—"

"Aku mau istirahat dulu."

"Oh."

Aimee mengangguk, meskipun sebetulnya dia masih ingin tinggal lebih lama lagi. Siapa yang akan menjaga Laura kalau bukan dia? Aimee adalah satu-satunya anggota keluarga Laura di Jakarta.

"Aku mau istirahat sendiri dulu aja." Laura menambahkan, menekankan kesendirian yang dia inginkan.

"Kalau ada apa-apa langsung kasih tau aku, ya, Ci."

Laura mengangguk.

"Cepet sembuh, Ci Laura."

Sekali lagi Laura mengangguk. Dia menatap punggung Aimee dengan sendu. She's such a nice girl, really, so nice that it hurts to be around her. Laura memejamkan matanya. Mudah-mudahan Ergi melakukan tugasnya dengan baik. Baru saja nama itu terlintas di benaknya, sosok Ergi muncul di ruang perawatan Laura.

"Hai, Antartika. Udah sadar?" sapa Ergi.

Laura hanya diam saja. Namanya bukan Antartika.

"Kamu betul-betul gila, ya? Out of all people, seharusnya kamu sadar kalau itu usus buntu." Ergi menarik napas panjang.

"Saya kan udah ngasih tau."

"Maksud saya, seharusnya kamu nggak anggap enteng setelah sadar kamu usus buntu. Kenapa nggak langsung minta operasi?"

"Saya belum sempat."

"Untung aja kamu nggak kolaps saat sendirian di rumah!"

Laura tak menyahut.

"Anyway, kenapa kamu nyuruh Aimee pulang?" tanya Ergi.

"Kenapa kamu panggil Aimee ke sini?" Laura balas bertanya.

"Lho, kan kamu yang minta untuk ngasih tau Aimee bahwa kamu usus buntu?" Ergi mengernyit. "Aimee peduli banget, lho, sama kamu. Saya jadi merasa bersalah sempat curiga sama dia."

Laura menghela napas, menahan rasa kesalnya pada Ergi. "Dari mana kamu dapat kontaknya?"

"Data pasien." Ergi menjawab dengan enteng.

"Kamu tau kan, nggak boleh—"

"I know, but otherwise how was I supposed to contact her?" Ergi mengangkat bahu."Ngomong-ngomong, dia panik banget sewaktu tau kamu operasi usus buntu."

"Iya, tadi dia lagi nangis sewaktu saya sadar." Laura menggumam. "So stupid."

"Stupid? That's too harsh. Wajar lah, kalau dia panik. Dia cerita, waktu SMA dia pernah operasi usus buntu juga. But something went wrong dan dia malah pendarahan. Lalu kamu nyumbang darahmu ke dia. Eh, apa karena itu sikapmu jadi dingin ke dia? You hate that you lost some of your blood for her? Kok bisa, sih, kamu mau nyumbang darah buat Aimee? Katanya kalian nggak dekat?"

Laura memutar bola mata mendengar ocehan Ergi yang begitu panjang. Asli, rasanya dia tidak pernah mengenal laki-laki lain yang lebih bawel daripada Ergi!

"Ngomong-ngomong, nanti dilihat, ya, hasil jahitan saya." Ergi tersenyum bangga. "Speaking of which, saya lihat ada bekas jahitan lain di perut kamu. Kamu pernah operasi sebelum ini? Dinilai dari posisinya, kelihatannya itu bekas jahitan—"

"Bukan urusan kamu." Laura memotong ucapan Ergi. Meskipun suaranya masih lemah, nada bicaranya terdengar begitu tegas.

Ergi tidak cengengesan lagi, tetapi juga tidak menunjukkan ekspresi segan ataupun gentar. Dia menatap Laura balik dengan serius. "Apa dari dulu kamu memang orang yang pendiam dan dingin kayak gini? Or something actually made you to be like this?"

Laura memejamkan mata, sambil berharap Ergi akan capek sendiri dan meninggalkannya kalau ucapannya tidak ditanggapi.

"Laura?"

Laura masih mendiamkan Ergi.

"Kamu Laura, langganan juara umum semasa sekolah yang nggak pernah mau ikut perlombaan atau olimpiade itu, kan?"

Jantung Laura mencelus mendengar kalimat Ergi.

"Please leave." Laura menggumam. "And stop snooping into my private life."

"Fine." Ergi menghela napas panjang dan beranjak. Dia berjalan menuju pintu ruang perawatan Laura. Di ambang pintu, Ergi menolehkan kepalanya, diam-diam memandang Laura dengan tajam.

Dalam hati Ergi berbisik, ternyata takdir mempertemukan kita lagi di sini, Laura.

~

SINCERELY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang