"Ci! Jangan ngomong begitu!" Tante Rena menghardik. "Ada apa, sih? Ci!"

Ibu Laura tidak menjawab, malah meninggalkan Tante Rena dan Laura begitu saja, Laura tidak mengerti ucapan ibunya saat itu. Belakangan dia baru tahu, ternyata dulu ibunya hamil di luar nikah. Dia adalah anak yang tidak diinginkan, anak yang tetap hidup walau berusaha untuk digugurkan. Ibunya terpaksa menikah dengan ayahnya agar tidak menanggung malu. Setelahnya, hidupnya malah semakin berantakan, harus membina rumah tangga dengan laki-laki yang mengikatnya dalam pernikahan yang tidak bahagia. Dan pada akhirnya, Laura kena semua getahnya.

"Laura, kamu nggak apa-apa?" Tante Rena membantunya berdiri.

Laura hanya diam saja. Dia terlalu terperanjat untuk menyahut.

"Ada apa, Laura? Apa yang terjadi?" tanya Tante Rena dengan lembut.

Laura masih tidak mau menjawab. Pandangan matanya kosong. Dia berjengit ketika rasa sakit di punggungnya menyengat hebat.

"Tante bawa kamu ke kamar, ya?"

Laura menggeleng. Dia mencengkeram tangan Tante Rena begitu erat dan ketakutan. "Aku... mau ikut Tante Rena aja. Aku nggak mau tinggal di sini lagi."

Gantian Tante Rena yang terdiam. "Ada apa, Laura?"

"Aku mau ikut Tante Rena aja." Laura mengulang.

"Lau, Mama lagi marah, tapi maafin, ya? Nanti—"

"Aku mau ikut Tante Rena aja! Aku nggak mau tinggal di sini lagi! Aku nggak mau tinggal di sini lagi! Aaaaargh!!!" Laura menjerit keras, menutup kedua telinga dengan tangannya. Setelah itu tangisnya pecah. Laura terisak hebat sampai-sampai napasnya sesak. Dia tahu Tante Rena bingung, dia pun juga. Saat itu, jiwanya terasa begitu hancur sampai-sampai dia merasa seolah sudah mati.

Laura bergidik mengingatnya. Tubuhnya tersentak, seolah merasakan kembali perih yang menyengatnya di masa lalu

"Kamu kenapa?" Ergi mengernyit bingung.

Laura cepat-cepat menggeleng. Dia menarik napas dalam-dalam dan menyandarkan kepalanya ke kursi. Untuk beberapa saat, mereka berdua hanya diam saja menikmati keheningan. Tiba-tiba Laura bersuara.

"Saya—" Dia menelan ludah, rasanya seolah tercekat. "Saya ini sebetulnya anak haram. Orangtua saya terjebak dalam hidup yang nggak bahagia gara-gara saya. Mereka terpaksa menikah karena saya."

Ergi terperanjat mendengarnya. Kedua matanya melebar.

"Kamu pasti bingung, kenapa saya sama sekali nggak nangis meskipun ibu saya meninggal. Mereka begitu sering bikin saya nangis, sampai-sampai air mata saya udah kering sekarang."

Entah apa yang mendorong Laura untuk akhirnya bercerita pada Ergi. Dia menceritakan semua yang dia alami di rumah itu, rumah horor itu, dan menutupnya dengan pengalaman horor terakhir saat dipukuli oleh ibunya dengan rotan. Laura tidak berani menatap Ergi sepanjang bercerita. Dia tidak ingin tahu seperti apa ekspresi Ergi saat mendengar kisahnya.

"Laura, I'm so sorry," ucap Ergi lirih setelah Laura selesai. "You must be feeling so hurt."

"I wish I was never born," gumam Laura, mengusap wajahnya.

"But if you're never born—" Tangan Ergi terulur menyentuh bahu Laura. "—many people would have died and the balance within the universe would have been disturbed. Siapa yang operasi mereka? Yang nyelametin nyawa mereka?"

Kehangatan yang ditawarkan Ergi meluluhkan hatinya. Air mata Laura menetes. Dia ingin menyekanya, tangan Ergi bergerak lebih cepat.

"It's okay." Ergi berbisik, menghapus air mata di pipi Laura dengan lembut.

"Kenapa saya harus hidup, kalau hidup itu menderita? Kenapa saya nggak mati aja?" ucap Laura lirih.

"Saya nggak tau," balas Ergi. "Ada banyak misteri hidup yang nggak kita ketahui, ataupun kalau kita diberi kesempatan untuk mengetahuinya, kapasitas pikiran manusia seperti kita nggak akan bisa mengerti. But life itself is so precious, that's why we became doctors, right? Itu sebabnya setiap hari kamu, saya, berusaha menyelamatkan nyawa. That's why, we must continue to live."

Dia tidak menyangka, Ergi adalah orang asing yang ternyata mampu melunakkan hati Laura dan membuat air matanya semakin deras mengalir. A stranger who stays, a stranger who doesn't judge, a stranger who tries to understand. Tanpa Laura tahu, air mata Ergi pun mengalir. Dalam hati dia terus-terusan meminta maaf, berharap telinga Laura bisa menembus dirinya dan mendengar ucapannya. Maaf, Laura. Kalau saja saya membantu kamu saat itu, kalau saja saya nggak melarikan diri, mungkin kamu sudah punya kehidupan yang berbeda.

~

SINCERELY (Completed)Where stories live. Discover now