"Ergi." Dokter Arifin menyebut nama Ergi dengan tegas, seolah isyarat menegurnya agar tidak bersikap petakilan.

"Dokter Arifin, maaf, saya harus izin dulu dua hari," ucap Laura. "Ibu saya meninggal. Saya harus ke Bandung sekarang juga."

Baik Dokter Arifin maupun Ergi sama-sama terkejut.

"Oke." Dokter Arifin mengangguk. "Turut berduka cita, ya, Laura."

"Terima kasih, Dok."

"Ibumu sakit apa?"

Mulut Laura hanya menganga, tidak bisa menjawab. Bagaimana dia tahu? Sejak diusir dari rumah dua puluh satu tahun yang lalu, dia tidak pernah lagi berurusan dengan ibunya.

"Saya kurang jelas. Tadi pagi masuk ICU. Sejam yang lalu dapat kabar udah meninggal. Maaf, Dok. Saya pamit dulu."

"Oke, oke. Hati-hati di jalan, Laura."

Laura segera membalikkan badan dan keluar ruangan. Ergi mengejarnya.

"Laura!"

Laura menoleh.

"I'm so sorry to hear that. Ada yang bisa saya bantu?"

"Nggak ada. Terima kasih, Ergi."

"Kamu ke Bandung sendirian? Atau sama Aimee?"

"Sama Aimee." Laura menjawab. "Dia di ruang kerja saya."

"Kapan kalian berangkat?"

"Sekarang. Saya pulang sebentar untuk ambil beberapa barang, lalu langsung berangkat ke Bandung."

"Kamu nyetir sendiri?"

Laura mengangguk.

"Nggak minta Aimee aja yang nyetir? Kamu kan baru beberapa hari yang lalu operasi."

"Aimee nggak bisa nyetir. Semua kereta penuh. I can drive, I'm fine."

"Tunggu." Ergi menahan langkah Laura. "Ini bukan nyetir 15-20 menit. Ini nyetir Jakarta-Bandung yang tiga-empat jam lamanya. Itu pun kalau nggak macet. Don't risk it, Laura. Biar saya yang nyetirin kamu dan Aimee."

"Hah?" Laura melongo.

"Iya. Biar saya yang nyetirin kamu ke Bandung. Saya juga yang akan nyetirin kamu balik ke Jakarta."

"Kamu kan harus kerja."

"Saya ambil cuti."

Laura menghela napas. "Nggak usah, Ergi."

"I insist. Kamu masih belum kuat nyetir sejauh itu. Lagipula, kamu lagi berduka."

"Ergi, saya baik-baik saja. Saya bisa nyetir sendiri."

"Kalau kamu kenapa-napa di jalan, apa nggak jadi masalah buat Aimee?"

Laura terdiam sejenak, sebelum membalas. "Saya nggak akan kenapa-napa di jalan."

"Laura."

"Saya nggak punya waktu berdebat dengan kamu sekarang."

"Makanya, jangan berdebat lagi. Let me drive you."

Laura sungguhan tidak punya waktu untuk membantah dan berdebat. Akhirnya dia mengangguk. Kenapa akhir-akhir ini Ergi terus-terusan bersikap baik padanya? Apa yang diinginkan orang itu darinya? Laura tidak bisa mengendalikan dirinya untuk tidak memiliki rasa curiga terhadap Ergi. Her mind is designed that way, to think that every good deed must have a hidden motive.

Bagaimana otaknya bisa berpikir dengan normal, jika sedari kecil, ayahnya hanya berbuat baik padanya kalau ada maunya? Seperti meminta Laura untuk tidak mengadu pada ibunya saat terpergok sedang bersama perempuan lain. "Ini uang saku tambahan. Jangan bilang Mama". Well, Laura juga tidak pernah bermaksud mengadu anyway, lantaran ibunya jarang di rumah.

"Ergi akan ikut ke Bandung, nyetirin kita," ujar Laura, sekembalinya dia ke ruang kerjanya. Aimee kaget mendengarnya. Jelas, dia bingung, tapi hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada Ergi.

Laura membereskan barang-barangnya, lalu keluar dan mengunci pintu ruang kerjanya. "Kamu butuh ambil barang di rumah?" tanyanya kepada Ergi.

"Nope. Saya selalu prepare barang-barang travelling di mobil," jawab Ergi. "Nanti saya ambil sekalian di parkiran. I'm such a convenient helper, right?"

Mereka bertiga turun menuju lapangan parkir di B1, kemudian Ergi mengambil satu tas dari bagasi mobilnya dan segera masuk mobil Laura. Kedua kali menyetir Alfa Romeo, Ergi tidak lagi tegang seperti pertama kali. Sambil menyetir, Ergi melirik Laura sekilas.

"Laura, kamu baik-baik aja?" tanya Ergi, di sela-sela suara radio yang mengalun pelan.

"Iya."

Laura sungguhan merasa baik-baik saja, physically and mentally. Dia hanya merasa diburu-buru karena harus ke Bandung saat itu juga. Setibanya di apartemen, Laura bergegas menuju kamarnya dan mengemasi barang-barang untuk dibawa ke Bandung. Dia teringat pesan Tante Rena yang memintanya membawa pakaian putih. Laura tidak suka warna putih. Sehari-hari dia sudah mengenakan jas dokter warna putih, sehingga membosankan rasanya jika harus mengenakan warna putih lagi di luar jam kerja. Hanya ada tiga helai blus putih yang dia miliki, yang dibelinya saat ayahnya meninggal dan tak pernah dikenakannya lagi. Laura mengeluarkan semuanya dari lemari dan meletakkannya di atas ranjang. Ponsel Laura berbunyi ketika dia sedang mengemasi barang-barangnya di kamar mandi. Ada sebuah pesan dari Ergi.

Ergi
Kalau butuh bantuan, kasih tau ya, Lau.

Laura hanya membalasnya dengan emoji jempol. Butuh bantuan apa? Dia tidak butuh dibantu apa-apa. Laura cuma perlu mengemasi barang-barang pribadinya untuk dibawa ke Bandung. Barangnya pun sedikit, lantaran dia tidak akan lama tinggal di sana. Kalaupun Laura butuh bantuan, dia tidak akan memanggil Ergi naik ke apartemennya. Dia tidak suka tempat tinggalnya didatangi oleh orang lain. Well, Aimee adalah pengecualian, karena saat itu dia sedang cedera. She's that private about her life, she's always been.

Laura juga bingung mengapa Ergi meragukan apakah dia baik-baik saja. Ya, dia memang baik-baik saja. Dia memang tidak menangis ketika mendapat kabar ibunya meninggal, tetapi itu karena dia sama sekali tidak dekat dengan ibunya. Namun, Ergi mengira Laura sedang setengah mati menahan kesedihan. Kenyataannya, dia tidak merasa sedih. Hubungan Laura dengan kedua orangtuanya begitu kaku dan asing, sampai-sampai bagi Laura upacara pemakaman ibunya sendiri pun tidak lebih dari sebuah tugas. Bukan karena dia ingin melakukannya, tetapi harus. Seperti mengoperasi pasien yang tidak dia kenal secara personal, demikian rasanya pergi ke Bandung untuk memakamkan ibunya. Hal yang sama dia rasakan saat memakamkan ayahnya tiga tahun yang lalu.

Dia sungguh berharap, dia bisa menangis atas kepergian ibunya seperti orang-orang lain pada umumnya. That would be the normal thing to do. Namun, apa pula yang selama ini normal dalam hidupnya, tentang dirinya? Nothing. Dia memang terkesan seperti seorang heartless bastard, tapi Ed Sheeran dalam lagunya yang berjudul Supermarket Flowers menyampaikan, "A heart that's broke is a heart that's been loved". And the fact that she cannot cry only shows that she's never been loved.

~

SINCERELY (Completed)Where stories live. Discover now