05. Lari Pagi

3.7K 470 32
                                    

Usia yang sudah sama-sama tidak muda lagi harusnya tidak membuat Angkasa kaget dengan ucapan Ziya. Toh, ibunya juga sering menanyakan kapan ia menikah. Namun, saat mendengar Ziya menanyakan tujuan hubungan mereka, lidah Angkasa seakan beku. Angkasa tahu, maksud Ziya adalah pernikahan.

Angkasa mengusap tengkuknya. Tidak ada kata yang tepat yang bisa mewakili perasaannya kali ini. Tiba-tiba ia bimbang untuk sesuatu yang sudah jelas jawabannya.

"Sa ...." Ziya menyentuh lengan pacarnya itu. "Aku tau kamu kaget. Kita baru pacaran sebulan. Tapi kita dekatnya udah lama. Lagian aku cuma tanya, apa kamu ada pikiran menikah sama aku, itu aja," ujar Ziya. Ia menarik kedua sudut bibir datar menyadari kebingungan Angkasa. Tak dapat dipungkiri, ia kecewa akan respons itu.

"Ada, tentu aja," jawab Angkasa akhirnya. Mungkin memang ada baiknya ia mulai memikirkan pernikahan dengan Ziya, pacarnya. Tidak mungkin selamanya ia single. Walaupun tidak pernah membayangkan akan mempunyai rumah tangga seperti apa atau siapa yang akan menjadi sang istri kelak, Angkasa masih punya niat menikah. "Kenapa kamu tiba-tiba tanya gitu? Nggak percaya ya sama aku?"

Ziya buru-buru menggeleng. "Bukan," kilahnya. Ia mengembuskan napas panjang. "Beberapa hari terakhir mama selalu tanyain aku pulang kerja diantar siapa. Hm nanti pulang kerja ... kamu bisa mampir dulu nggak? Aku kenalin sama mama aku, semoga papa udah pulang kerja juga." Perempuan itu menggigit bibir bawahnya kikuk. Khawatir Angkasa menolak mampir.

Menyadari Ziya yang bicara hati-hati, Angkasa terkekeh kecil. Diusapnya lengan atas Ziya lembut. "Kenapa kamu kayak takut gitu ngomongnya? Nanti sore aku mampir."

"Beneran?!" seru Ziya. Sepasang matanya melebar. Senang luar biasa. Ia menarik tangan Angkasa di lengannya untuk digenggam.

Mengangguk, Angkasa balas menggenggam tangan Ziya. "Iya, Sayang."

🍂🍂🍂

Walaupun hari ini harus lembur, mengantar Ziya lebih dulu dan mampir baru pulang, entah mengapa Angkasa tidak ingin mengeluh. Pundaknya terasa amat ringan. Mungkin karena melihat senyum Ziya tadi saat ia bertemu mama perempuan itu. Sayangnya Angkasa tidak bisa bertemu papa Ziya karena beliau masih kerja.

Saking bagusnya mood Angkasa, ia tersenyum lebar kala melihat ibunya duduk santai di ruang keluarga. Siap kalau Tiara akan menanyainya soal 'kapan nikah?', seperti biasanya.

"Malam, Bu," sapa Angkasa.

"Eh, udah pulang? Kok malam banget, Ca?" Tiara melirik sekilas.

"Biasalah, banyak kerjaan."

Tiara manggut-manggut tanpa menatap Angkasa. "Di kamarmu ada Dena, kayaknya udah tidur."

"Lho, ngapain?" kaget Angkasa. Ia sudah hendak berlari ke kamarnya, menghampiri pengacau itu, kalau saja tidak mendengar ucapan Tiara selanjutnya.

"Dari sore nungguin kamu. Katanya mau curhat. Jangan di marahin, ya, dia lagi banyak pikiran."

"Kenapa nggak curhat sama Ibu aja?" tanya Angkasa. Pasalnya Dena juga sering berkeluh kesah pada ibunya.

"Udah. Tapi nggak afdal dong kalau sama mas-nya nggak cerita juga. Kamu ini kayak nggak kenal Dena aja."

Dengan langkah gontai Angkasa masuk kamarnya. Padahal malam ini rencananya setelah mandi, ia ingin teleponan dengan Ziya. Membahas tentang pertemuan dadakan di rumah perempuan itu tadi. Namun, kalau Dena mau curhat, tentu waktu Angkasa harus diberikan pada perempuan cerewet itu. Lagian Angkasa bingung, akhir-akhir ini Dena kelihatan murung, tetapi tidak mau bercerita apa pun.

Saat membuka pintu kamar, ternyata benar tebakan Tiara bahwa Dena sudah tidur. Dengan piyama tanpa motif berwarna maroon, ia tidur di kasur sambil memeluk guling. Angkasa berdecak melihatnya.

Say Yes, Mas!Where stories live. Discover now