03. Pengin Resign

4K 463 43
                                    

Besar tanpa seorang ayah membuat Dena asing dengan yang namanya laki-laki. Sejak kecil, Dena dirawat oleh pengasuh wanita yang tinggal di rumahnya hingga ia kelas 5 SD. Sedangkan Cintya Arabella, mamanya, sibuk bekerja. Berprofesi sebagai model sejak usia muda yang merambat sebagai pemain fim, tidak jarang Dena melihat wajah mamanya berlalu-lalang di layar kaca. Awalnya Dena begitu bangga memamerkan dirinya sebagai seorang anak Cintya Arabella, seorang artis papan atas yang dipuja karena kecantikannya. Namun, seiring berjalannya waktu, tepatnya saat usia Dena mulai beranjak dan ia sedikit banyak mulai paham kehidupan, Dena malah ingin menyembunyikan fakta bahwa ia seorang putri Cintya.

Bukan Dena tidak menyukai mamanya. Justru Dena sangat sayang dengan Cintya, wanita tangguh yang membiayai hidupnya sendiri beserta seorang anak perempuan tanpa kurang satu apa pun. Namun, menjadi figur publik ternyata tidak mudah. Semakin Dena besar, semakin ia paham bahwa banyak alasan mamanya muncul di televisi. Sayangnya, tidak selalu beralasan baik, terkadang berita miring menjadi topiknya.

Teman-teman sekelas yang semula dekat dengannya, kini bersikap sesuai berita sang mama. Jika berita miring, Dena akan diolok-olok. Jika baik, mereka juga baik pada Dena. Awalnya Dena tidak begitu memahami arti dari kata 'teman', sampai akhirnya ia paham, Dena memilih menjaga jarak pada siapa pun––yang tidak tulus berteman dengannya. Syukurnya, masih ada segelintir orang yang tidak peduli siapa mama Dena, melainkan berteman karena sifat Dena.

Kehidupan Dena kecil kesepian. Tidak punya saudara dan mama yang selalu sibuk. Berteman dengan pengasuh yang hanya peduli dengan kesediaan makanan di meja dan kebersihan rumah tidak membuat Dena merasa mempunyai teman, sampai akhirnya rumah kosong di sampingnya terisi. Ia punya tetangga baru.

Kala itu Dena masih berusia sembilan tahun, kelas 3 SD. Rumah yang hanya dipisahkan dengan pagar besi jarang-jarang membuatnya mudah mengintip keadaan halaman hingga teras rumah sebelah. Keadaan rumah itu yang berisik sangat kontras dengan rumah Dena yang sepi. Terkadang ia iri dengan kehidupan tetangga barunya itu.

"Kamu mau?" Dena tertegun dengan pertanyaan itu kala ia sibuk menempelkan wajah di pagar pembatas halaman rumah mereka. Dena mundur, merasa malu dan takut bersamaan. Tidak punya saudara, besar tanpa mengenal siapa ayahnya, Dena asing dengan sosok laki-laki.

Dena menggeleng kaku, tetapi pada langkah mundur ketiga ia berhenti. Sepasang mata lebarnya masih tertuju pada enam orang yang asyik mengobrol di teras rumah itu––kini berhenti karena memperhatikan Dena.

"Nama kamu siapa?" seorang gadis seumuran dengan remaja lelaki tadi ikut menyapa Dena. Ia tersenyum ramah.

"Dena, Mbak," jawab Dena. Berusaha menekan rasa canggung yang menyerangnya. Ia tidak biasa mengobrol dengan orang asing.

"Kamu mau?" Gadis itu mengulangi pertanyaan lelaki tadi sambil mengangkat piring berisi cake berwarna cokelat.

Entah karena tertarik dengan cake itu atau keramaian di sana, akhirnya Dena mengangguk.

"Sini," ucap gadis itu sambil memberi kode dengan tangan. "Aku tunggu di depan, ya." Setelahnya gadis itu berdiri, menjemput Dena yang keluar gerbang rumahnya sendiri.

Setelah bergabung, pada akhirnya Dena tahu nama lelaki yang pertama menegurnya adalah Vano dan gadis itu adalah Safa.

"Dena, kok melamun?"

Dena tersentak karena sentuhan di puncak kepalanya. Ia menoleh, pada seorang pria yang kini menyetir di sampingnya. Pria yang awal Dena kenali saat ia berusia sembilan tahun dan cueknya minta ampun. Saat seluruh keluarganya menyambut Dena dengan ramah, pria di sampingnya ini hanya diam dan terlihat sangat enggan untuk sekadar meliriknya.

"Eh, nggak." Dena menggeleng. "Keingat sesuatu."

"Keingat apa?"

"Dulu ... waktu Mas baru pindah ke samping rumah Dena."

Say Yes, Mas!Where stories live. Discover now