01. Keluarga

5.6K 537 33
                                    

Pukul delapan malam, langkah Angkasa memasuki teras rumah yang sudah ia tinggali lima belas tahun terakhir. Sebenarnya ia sudah berkali-kali meminta izin pada Tiara, ibunya, untuk membeli apartemen lalu pindah, tetapi selalu dilarang. Memang rumah keluarganya luas, ada lima kamar. Namun, Angkasa sudah tidak betah menghadapi perangai orang-orang di rumah dua tingkat ini hampir setiap hari.

Pertama, ada ibu yang selalu menanyakan kapan dan kapan ia menikah.

Kedua, ada Arin, adiknya yang berusia lima belas tahun yang selalu merecoki Angkasa dengan banyak hal. Mulai dari curhat karena novel yang baru ia beli sad ending atau tentang peliharaan teman sekelasnya yang baru saja mati.

Ketiga, sang tetangga yang tidak kalah mengganggu. Dena namanya. Perempuan berusia dua puluh empat tahun yang sangat-sangat merepotkan. Tidak tanggung-tanggung, ia bahkan tidak segan menitip untuk dibelikan pembalut pada Angkasa.

Keempat--

Langkah Angkasa berhenti kala telinganya menangkap suara tawa sahut-menyahut dari dalam rumah. Ia berjalan pelan, lalu menghela napas berat melihat siapa saja yang kini tengah duduk di sofa ruang keluarga. Angkasa mengelus dadanya, mencoba memupuk kesabaran.

Nah, oknum keempat ada di sana, sedang menjejalkan burger berukuran hampir sama dengan wajah kecilnya ke mulut. Dia Nataya, anak saudara tiri Angkasa yang berusia enam tahun. Sebenarnya Nataya atau yang akrab disapa Taya tinggal di rumah berbeda dengan Angkasa, yaitu di rumah lama keluarga mereka. Namun, Taya dan orang tuanya sering berkunjung, seperti malam ini misalnya.

"Om!" seru Taya, orang pertama yang menyadari kehadiran Angkasa. Gadis kecil itu langsung berdiri di atas sofa sambil melambai, yang menurut Angkasa sangat berlebihan. Ah, syukurnya Angkasa dan papa anak itu sudah tidak perang dingin seperti ketika mereka masih SMA. Kalau saja masih, mungkin Angkasa tidak akan mau meladeni si kecil tengil itu.

"Hai, Taya." Angkasa balas melambai kecil. Ia tersenyum lalu mengusap lembut puncak kepala Taya ketika melewatinya. Angkasa tidak ada niat untuk bergabung dengan enam orang di sana.

"Om-Om, Taya dibeliin Opa burger lebih gede daripada yang Om beliin, lhooo!" pamernya lalu sengaja menggigit burgernya dengan mata terpejam. Oh, maaf, Angkasa tidak tertarik sama sekali.

"Oh ya?" Sok kagum, Angkasa tersenyum. "Om boleh minta?"

"Om minta sendiri sama Opa!"

Tentu saja tidak mungkin. Angkasa dan papa tirinya itu tidak begitu akrab walaupun hubungan mereka baik-baik saja.

"Ya udah, om minta sama opa dulu ya, Taya. Jadi sekarang om mau ke kamar dulu."

"Lho, Ca, gabung sini dulu," ujar Tiara, ibu Angkasa. Oknum pertama yang selalu membuat Angkasa ingin menikahi sembarang perempuan agar berhenti direcoki perihal 'kapan nikah?'.

"Iya, Kak. Banyak banget lho ini burger sama pizzanya. Arin sudah simpanin buat Kakak burger yang original," timpal Arin, oknum kedua yang membuat otak Angkasa bekerja lebih keras untuk mengingat setiap nama tokoh fiksi dan teman sekelasnya.

"Tau nih Mas Caca, mau main pergi-pergi aja. Mana tadi dimintain tolong antarin Dena pulang kerja nggak mau lagi! Malah asyik pacaran, huuu!" Nah, ini dia oknum ketiga, si tetangga cerewet yang setiap hari datang berkunjung. Tukang menambah keruh suasana.

"Pacar?!" Ibu yang paling tajam telinganya jika mendengar kata itu langsung saja mode on. Ia memandangi putranya dengan mata berbinar.

Angkasa menghela napas berat, berat sekali. "Maaf ya, semua. Tapi tolong ... tolong banget, aku capek. Mau mandi dulu terus istirahat."

Say Yes, Mas!Where stories live. Discover now