Episode 15 Benang Merah

Start from the beginning
                                    

Baik, dalam setiap pertemuan pasti ada alasan. Namun, seperti inikah bentuk pertemuan kami? Seperti inikah alasannya?

Aku menangis terisak. Membenamkan seluruh kepala di bawah selimut tebal agar mereka di luar tak mendengarku. “Kenapa kamu melakukan ini, Hana? Apa kamu butuh pertolonganku lagi? Namun, haruskah bertukar tempat seperti ini, HAH!”

Berteriak aku dalam kehampaan. Seperti bertanya tanpa ada jawaban. Dadaku sesak karena kami bukanlah orang asing. Sekantong darah itu telah mengalir dalam tubuh manusia ini. Saking emosinya, tangan ini sampai memukul-mukul pinggiran kasur.

Sebuah suara sibuk masuk dari arah pintu. Pria tinggi itu tergopoh menahan tanganku yang menyakiti diri sendiri. “Ssstt, Hana? It’s okay, Honey. I’m here for you, sssttt,” ucapnya lembut dan tenang. Dia terus berdesis untuk mendamaikanku.

Namun, dadaku masih sesak dan tangis ini masih berderu. Hingga tanpa sadar aku menyerah di pelukannya. Begitu pula dengan Papi dan Mami Hana yang berpandangan cemas. Maminya bahkan sampai terduduk lemas di sisiku. Semua heran dengan kelakuanku. Semua menebak-nebak apa yang sedang terjadi.

Sama seperti mereka, aku pun bingung dengan semua ini!
---

Aroma vanilla and wild berry menguar lembut dari belakang kedua telinga wanita ayu itu. Di tubuh tinggi langsingnya telah melekat sepotong gaun selutut katun warna biru dongker dan di kakinya masih melekat sepasang selop warna abu. Tangan berhias gelang emas rantai itu kemudian membenarkan letak skincare beraroma buah-buahan di meja rias Hana. Harus rapi seperti sebelumnya.

Dialah Sea yang terjebak di tubuh Hana, dan sore ini adalah hari kedua cutinya Gavin. Namun, entah sudah hari keberapa dia mendiami tubuh itu. Alur hidupnya terasa lambat karena satu persatu informasi penting masih abu-abu.

Sesekali dia berdecak heran karena perawatan kulit milik Hana sangat banyak. Sea yang pramugari saja tak perlu botol-botol sebanyak ini. Sebenarnya dia enggan, tapi sudah terlanjur ingin merawat tubuh yang dihuninya itu. Maka dengan setengah hati dia mengoleskan krim kaki pada tumitnya. Kemudian aroma pineapple jasmine menguar dari bawah.

Sea pikir tubuh Hana ini sudah mirip toko buah.
Mata lentiknya kemudian melirik ke samping. Bibir sensual Hana itu kemudian sedikit melengkung ke atas. Tanda galau hendak mengambil keputusan apa saat memandangi sebuah benda berkilat itu. Cincin emas putih 1,2 gram dengan hiasan banyak permata kecil menutupi setengah badan cincin itu. Benda yang terlihat berkilauan dan memikat dipakai.

Sayangnya, itu bukan milik Sea meski dia mendiami tubuh Hana.

Suster yang merawatmu susah payah menjaganya. Ternyata cincin ini masih jadi milik kita. Pakailah, Honey!” Perkataan Gavin kemarin sore makin mengaduk hatinya. Suara lembut dan tatapan manis itu kembali menggetarkan hati wanita ini.

Sea memaku kedua tangan Hana itu di atas meja. Dia menunduk bersandar pada dua tangan mulus yang terhimpun erat. Rasa bingung menjalar di seluruh hatinya. Bagaimana bisa dia memakai benda yang jadi perlambang cinta suci Hana dan Gavin itu? Dia tetap tidak berhak!

Namun, kalau tidak dipakai bagaimana tanggapan Gavin? Pasti lelaki tinggi bermata lembut itu menjadi sedih. Sejujurnya berat bagi Sea memandang Gavin kecewa untuk berulang-ulang. Ingin sekali saja dia membuat Gavin tersenyum hangat, atau mungkin tergelak seperti kemarin.

Lagi-lagi, Sea yang mendiami tubuh Hana itu galau. Apalagi jika ingat perihal benang merah antara mereka bertiga. Sea dan sepasang orang asing itu terhubung dengan cara yang menyakitkan. Aliran darah dan peristiwa pahit.

“Gimana mungkin aku pakai kamu?” gumam bimbang Sea lewat mulut Hana sembari menimang cincin di tangan kanannya.

“Kamu bukan milikku, tubuh ini juga,” imbuhnya tanpa sadar melinangkan air mata. Cincin itu kembali tergeletak di atas meja rias.

Hai, Sea! (End/Complete)Where stories live. Discover now