Episode 14 Stranger

Start from the beginning
                                    

“Kita baru dua bulan nikah, wajarlah kalau masih panas-panasnya. Semua yang kita jalani selalu penuh cinta, makna. Setiap pagi aku selalu kesiangan dan terlambat apel karena terlalu lelah semalam. Kamu menghabiskan seluruh energiku. Nuansa hujan menambah manis suasana. Hei, Hana, sadarlah! Hari-hari manis kita baru kemarin,” cerocos Gavin yang mulai memandangku lekat.

Kubuang tatapan mata sedihnya ke arah lain. “Aku nggak ingat,” ucapku tanpa sadar berubah jadi keaku-akuan.

Gavin menarik lengan kananku hingga badanku menghadap ke wajahnya. “Kembalilah seperti dulu, Honey, please!” pintanya dengan mata simpati dan dahi berkerut. Gavin tampak lemah dan hancur saat ini. Iyalah, kehilangan sosok istri saat masih sayang-sayangnya.

“Aku nggak bisa, Pak! Aku bener-bener nggak ingat semuanya karena aku bukan Hana!” ulangku seperti biasa.

Wajah Gavin makin mengeras. “Abang, bukan Pak!” bentaknya tegas.

Kamu membentakku? Batinku keder.

“Aku maunya manggil ‘Pak’, memang kenapa?” balasku alot tak mau kalah keras meski hatiku sudah ketar-ketir. Kemarahan tentara itu menyeramkan rupanya.

Kini kami berhadap-hadapan dengan mata sama-sama melotot. Wajah kami sama-sama keras dan kaku karena emosi. Namun, lirik lagu “I want you to the bone” membuat matanya berubah lemah. Gavin mengendurkan pelototannya dan menunduk lesu. Dia kembali memakai sabuk pengaman dan menjalankan mobilnya pelan.

“Kok menyerah?” tanyaku masih menantangnya.

“I want you to the bone,” jawabnya tanpa melihatku.

“Lirik yang menye-menye. Memang ada orang yang sangat menginginkan kita? Kayak angan kosong karena nggak bakal ada yang kayak gitu. Lelaki yang punya cinta tulus itu nggak ada, mungkin,” sindirku lirih sentimen sembari menatap barisan padi hijau yang menari ditiup angin.

Cukup lama Gavin diam sampai angkat bicara sambil memutar setir mobil, “Ada. Aku!”

“Apa …?” Aku menoleh karena terkejut Gavin sudah menatapku. Mobil juga sudah berhenti di parkiran sebuah saung di tepi sawah. Entah sejak kapan dia membawaku ke tempat ini.

“Tempat apa ini?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Meski lagu cengeng itu masih terputar nyaring. Sepertinya disetel hanya memainkan lagu itu, sehingga terputar terus.

Karena muak, aku berencana turun duluan setelah melepas sabuk yang melintasi dadaku. Namun, tangan kuat dan panas itu menahan lenganku lagi. Aku menoleh dan mendapatinya menatapku frustrasi.

“Ada aku, Hana! Akulah yang mencintaimu dengan tulus, sampai ke tulang-tulangmu dan mungkin sampai kita hanya tulang. Ya, aku punya cinta itu!” Gavin menepuk dadanya kuat dua kali.

Membuatku terkesima, terpaku di satu titik karena wajah itu teramat serius. Tanpa tersenyum atau menatap riang seperti tadi, tentara ini tampak serius mengungkapkan rasanya. Tanpa mengenal ragu seperti semboyan mereka, “Ragu Lebih Baik Kembali.”

“Jangan ragukan aku!” pungkasnya dengan penekanan pada setiap kata.
---

Kami duduk seperti orang asing di dalam saung nomor empat, tepat di sebelah sawah berisi padi yang menghijau. Anginnya cukup dingin menembus kain tipis ini. membuatku merinding beberapa kali, tapi berusaha tampak tegar. Aku tak mau mendapat perhatian lebih darinya, apalagi dapat tatapan menyayat itu. Tak banyak dialog karena dia sibuk melahap seekor ikan bakar lengkap dengan sambal.

Kalau boleh jujur, aku nggak suka makanan sejenis ini. Mungkin kalau tentara suka kali, ya? Ya karena mereka biasa hidup di alam. Bayanganku pasti sering makan dari hasil alam langsung di tempatnya, macam membakar ikan atau ayam hutan. Gimana nggak aku pernah dilatih tentara langsung saat jungle survival pendidikan pramugari.

Hai, Sea! (End/Complete)Where stories live. Discover now