Aku mengigit bibir. Kenapa sih mulutku tidak bisa direm? Sumpah, tadi aku hanya kelepasan.
"Maaf, Rafael. Aku nggak bermaksud bicara begitu. Itu tadi benar-benar spontanitas," ucapku lirih.
"Spontanitas itu terjadi karena sebuah kebiasaan yang terus melekat di pikiran kita. Mungkin dokter itu memang sudah menyatu di alam pikiran bawah sadarmu, Kalila. Sepertinya akan sulit dilupakan." Dia mengedikkan bahu, lantas mengalihkan pandang sesaat.
"Bukan begitu, Rafael. Aku—"
"Sudah, kamu harus banyak istirahat dulu. Aku keluar sebentar nggak pa-pa, 'kan? Sebentar lagi Ersa kembali."
"Rafael...."
Dia tersenyum tipis, menepuk kepalaku pelan sebelum beranjak. Astaga! Aku sudah menyentil egonya. Harusnya aku berterima kasih padanya bukan malah berbicara yang tidak-tidak. Sekarang pasti Rafael berpikir aku tidak bisa menghilangkan bayang-bayang Wishnu dari ingatanku.
***
Rafael benar. Tidak lama kemudian, Ersa dan Mbok Marimar masuk.
"Lo udah sadar, Lil? Tadi kami pergi sebentar cari makan. Loh, Rafael mana? Gue bawain makanan juga loh," ujar Ersa begitu masuk.
"Apa kalian nggak berpapasan dengannya di luar tadi?" tanyaku.
"Enggak." Ersa menggeleng seraya duduk di kursi yang tadi diduduki Rafael.
"Tadi, dia minta izin keluar sebentar."
"Ooh." Tangan Ersa terulur mengecek kondisiku. "Panasnya belum turun juga. Untung Rafael langsung bawa lo ke sini."
"Iya, loh, Mbak Lila." Mbok Marimar menimpali. Aku mengalihkan pandangan padanya yang sedang menata makanan di meja. "Tadi itu pas banget dia datang. Mbak Lila dibangunin nggak bangun-bangun, saya panik. Eh, ternyata Mas Rafael itu lebih panik lagi. Langsung bopong Mbak Lila bawa ke mobil. Terus Mbak Ersa baru menyusul."
Mendengar penuturan Mbok Marimar, aku jadi semakin merasa bersalah pada Rafael. Mulutku ini tidak tahu diri memang.
"Kok bengong sih, Lil? Ada apa?" Ersa menepuk pelan pahaku.
"Gue... Gue kayaknya tadi salah omong deh, Sa." Aku menggigit bibir lagi.
Ersa mengernyit. "Salah omong? Maksud lo?"
"Gue tadi kelepasan bicara soal Wishnu. Gue beneran nggak sengaja. Itu tadi kayak spontanitas keluar dari mulut gue."
Ersa menghela napas.
"Dia marah kayaknya." Aku menunduk, menyesali perbuatanku.
"Udahlah. Lo nggak usah mikirin itu. Penting itu kesehatan lo dulu. Nih panas lo belum turun. Virus typhus lo pasti nyerang lagi."
Tetap saja. Aku pasti kepikiran. Bagaimana wajah Rafael tadi menyimpan rasa kecewa karena ucapanku, masih aku ingat jelas.
***
Malamnya, tanpa aku duga Wishnu datang ke rumah sakit. Aku cukup terkejut. Ersa izin ke restoran sebentar. Sementara Rafael sejak izin keluar, dia belum kembali lagi. Hanya tinggal aku dan Mbok Marimar saat Wishnu datang. Itu pun lantas si Mbok pamit keluar.
Siapa yang memberitahunya aku di sini?
"Tante Vira, meneleponku. Aku disuruh ke sini untuk melihat kondisimu. Rekam medik kamu nggak bagus, Lila. Aku sudah sering kali bilang jangan ceroboh soal makanan. Kemarin apa kamu hujan-hujanan juga?"
Seperti biasanya. Dia akan secerewet itu. Dia pasti sudah mengetahui kondisiku lewat para perawat yang jaga. Tapi, dia tetap memeriksaku kembali.
"Aku nggak apa-apa kok, Mas. Sebentar lagi juga akan sembuh seperti biasa," kataku mengawasinya yang sedang memeriksa denyut nadiku.
"Kamu akan selalu mengulangi kata yang sama jika sakitmu datang," balasnya menatapku sekilas.
"Kenapa Mas Wishnu ke sini? Apa kamu nggak membenciku, Mas?"
Kulihat Wishnu menarik napas. Dia menatapku sejenak, lalu melanjutkan memeriksa tekanan darahku.
"Aku nggak mungkin membencimu, Lila. Meskipun aku ingin."
"Maaf."
"Aku sudah memaafkanmu dan membebaskanmu. Sudah aku bilang kemarin kan?"
Kemudian dia meletakkan punggung tangannya ke dahiku. "Panasmu sudah turun. Kamu akan sembuh kalau banyak makan."
"Aku nggak mau. Lidahku pahit." Bibirku mengerut.
"Kamu bukan anak kecil lagi. Hal seperti itu harusnya tidak perlu diulang-ulang. Makan yang lunak dulu, habiskan obat. Itu juga kalau kamu mau sembuh." Wishnu bergerak membereskan alat pemeriksaannya, dan mengalungkan stetoskop ke leher.
Aku memutar bola mata. "Aku tidak mungkin menolak titah dokter. Apa kamu akan seperti ini sama pasien-pasienmu? Kamu dokter yang bawel, Mas. Aku yakin pasienmu akan lari kalau kamu bawelin terus."
Wishnu menatapku sekilas lantas menggeleng. "Aku seperti ini hanya kepada pasien yang bandel."
Aku mencebik. "Jadi, Mas Wishnu mau bilang aku pasien yang bandel?"
"Pasien yang baik akan menuruti apa kata dokternya dan menjaga kesehatannya agar tidak selalu merepotkan dokternya."
Dia menyuruhku membuka mulut. Mataku juga tak luput dari pemeriksaannya.
Aku mendengus. "Kalau semua pasien kayak gitu, nanti kamu nggak ada kerjaan, Mas."
"Aku juga baru menemukan pasien yang suka membantah seperti kamu, Lila."
Akhirnya dia selesai memeriksaku. Entahlah, aku senang keberadaannya di sini sekarang. Itu artinya dia masih peduli padaku. Meskipun kedatangannya ke sini harus dengan embel-embel disuruh Tante Vira.
Rafael- Kalila up! Siapa yang pro sama Dokter Wishnu? Dia jomlo loh sekarang.
Selain tabur bintang, jangan lupa komen, Gaes. Biar lapak ini rame dan makin banyak yang baca.
Aku bakal berterima kasih banget buat yang mau meramaikan lapak ini. See you next Saturday. Happy weekend.
YOU ARE READING
In Between 1 (END)
ChickLit°°FOLLOW AUTHORNYA DULU SEBELUM BACA YA GAES 😉 Bertemu dengan cinta masa lalu kadang terasa menyenangkan. Apalagi jika cinta itu sampai sekarang belum move on. Aku senang melihatnya kembali. Di sini dia begitu jelas terlihat. Bersamanya setiap wak...
PART 44
Start from the beginning
