Episode 11 Mengenal Hana

Mulai dari awal
                                    

Aku suka jalanan sepanjang tol, mirip suasana saat aku berangkat kerja dulu. Namun, sekarang jalanan ini akan membawaku ke kehidupan yang lain.

Kehidupan yang jauh berbeda dengan milikku yang sebelumnya.
---

Kondisi Hanasarah sudah baik-baik saja, luka di kepala dan bagian tubuh lainnya dalam proses pemulihan. Berdasarkan pemeriksaan kepala dan seluruh tubuh, tidak ada kerusakan atau trauma. Bisa dikatakan Hana dalam kondisi stabil. Namun, kesembuhannya hanya bergantung pada Hana. Dia ingin sembuh atau tidak, itu keputusannya.”

Suara milik dokter gemuk itu mengembalikan kesadaranku ke dunia. Aku terbangun dengan kondisi napas sesak dan keringat dingin membanjiri dahi. Seketika bu Laila di sebelahku ikut panik. Dia memandangku lekat sembari meneliti satu persatu bagian tubuhku. Merasa tak ada yang terluka atau apa, bu Laila kemudian memelukku erat.

“Tenang, Nak. Kita akan sampai di rumah, Hana. Sebentar lagi,” hiburnya pelan. Suaranya terdengar halus dan lembut.

Perlahan napas sesakku mulai bebas. Aku mulai bernapas normal seraya sebuah gelontoran air masuk ke kerongkongan. Air mineral ini mampu mendinginkan kepalaku yang terasa panas karena sebuah mimpi aneh.

Tertidur di perjalanan memang beda rasanya. Semacam tak bisa terlelap karena kita mendengar banyak suara. Semacam gangguan gelombang otak karena kebisingan suasana kendaraan, sehingga mimpi terasa begitu buruk.

Kuhela napas lebih tenang seraya merapikan rambut milik Hana ini. Rambutnya yang lurus dan halus ini memang susah diatur dan gampang berantakan. Beda dengan milikku yang mudah disanggul hanya dengan beberapa gerakan. Kenapa di menit ini aku malah rindu tubuhku. Belum saatnya aku menggila!

Aku masih harus bersabar dan menjalani hidup sebagai Hana. Memulihkan tenaga seraya mencari informasi di mana tubuhku berada. Mungkin juga sedikit mengenal Hana dari kedua orang tua baiknya ini.

Benar saja, sesampainya aku di rumah yang sangat megah dengan dua pilar tinggi ini, bu Laila menjamuku dengan banyak informasi. Info pertama adalah kekayaan orang tua Hana yang terlihat dari megahnya rumah dan jejeran mobil-mobil mahal di garasi luasnya.

Tak cuma itu, rumah bernuansa Eropa klasik ini punya halaman yang luas dengan taman bunga yang indah. Pantas saja kalau Hana secantik bunga, sejak kecil dia diperlakukan seperti putri raja. Kesukaan pemilik tubuh ini adalah bermain-main menikmati indahnya padang bunga cukup dari halaman rumahnya saja.

Pantas gerbera di dalam vas menjadi penyambutnya saat pertama kali sadar. Mungkin yang meletakkan bunga itu bukan Gavin, tapi orang tua Hana.

Informasi kedua, seluruh elemen manusia penghuni rumah ini juga menerapkan salam dan sapa. Mereka sangat ramah menyambutku yang lebih banyak melongo atau melamun kosong. Memanggil nama “Mbak Hana” dengan nada suara lembut dan santun, penuh sayang seperti pada keluarga mereka sendiri.

Informasi ketiga, inilah rumah yang sebenarnya. Tempat untuk dihuni dengan penuh kasih dan sayang. Aneka makanan lezat, kue-kue kering dengan toples yang mewah disajikan di meja ruang tamu dan ruang makan. Sekilas kupandang tadi, suasana rumah ini mirip saat hari Lebaran.

Jadi, setiap hari adalah lebaran di rumah ini. Penuh kue dan aroma makanan lezat serta penghuni rumah yang ramah-ramah.

Sepertinya aku akan betah selama menjalani hidup sebagai Hana. Entah bakal betah sampai kapan, itu urusan nanti. Namun, kalau mencicipi kolam renang berair biru di belakang rumah itu mungkin bisa segera kuagendakan. Tak sabar melepas letih dengan terjun ke air.

“Hana …,” pecah suara Bu Laila saat aku asyik melamun memandangi kolam.

Aku menoleh dan mendapati beliau mendekatiku sambil membawa beberapa buku tebal di tangannya. Mungkin itu bisa jadi informasi keempat, album foto. Tak menunggu waktu lama, Bu Laila langsung membuka album masa kecil Hana. Dia tunjukkan semua satu persatu dengan sabar dan telaten.

Meski pak Hutomo melarangnya karena takut terlalu membuatku lelah, tapi ibu ini sangat bersemangat. Dia terus saja berceloteh ini dan itu, meskipun sejujurnya aku mulai kelaparan.

“Sembari mengenang masa kecilmu, makan ini, Hana! Ini adalah kue kesukaanmu.” Bu Laila menyodorkan sepiring risol mayo yang masih mengepul panas. Kemudian mata lentiknya berpindah menelusuri satu persatu foto Hana di album. Senyumnya mengembang dengan tangan yang mengelus-elus permukaan album. Celotehnya mulai mengalir lagi.

“Kamu sangat suka memasak, meski kami punya banyak pembantu.”

“Hobimu suka mencuci dan menyetrika baju sendiri karena belajar jadi ibu rumah tangga yang baik.”

“Kamu sangat suka berlenggak-lenggok di atas catwalk. Dulu kamu belajar menuruni tangga dengan hati-hati memakai sandal tinggi agar terbiasa.”

“Kamu sangat tidak suka ketinggian karena pernah jatuh dari pohon saat kelas dua SD. Kamu pun benci hal-hal yang becek, meski dapur adalah tempat favoritmu. Itulah kenapa kamu tidak suka berenang.”

Cerocosan demi cerocosan yang mengalir itu hampir membuatku tersedak risoles mayo. Niat hati ingin menghapus lapar, aku malah berakhir cengo. Dari penjelasan Bu Laila jelas sifat dan kebiasaan Hana sangat bertolak belakang dariku. Aku nggak suka kehidupan rumah tangga dan pernikahan. Aku suka ketinggian dan lautan. Justru aku juara di lomba berenang saat SD dan saat pendidikan pramugari.

Bahkan, liurku menggenang saat melihat kolam renang rumah ini barusan. Terlihat jernih dan segar, pasti bisa meluruskan pikiranku yang berkelok-kelok.

Lalu bagaimana aku bisa menjadi Hana yang seperti itu? Seberat inikah aku harus kembali jadi Hana yang itu?

Kugigit bibir dengan cemas. “Oh … begitu,” ucapku datar.

“Ulang tahun saya, Bu?” tanyaku kemudian dengan suara gantung, ragu tentu saja.

Dibalas dengan wajah datar oleh ibu cantik ini. “1 Januari. Kamu suka sekali dengan hari itu karena dirayakan satu dunia. Mengingat kamu selalu kesepian, tak punya saudara. Maka kamu mengundang semua teman dan orang yang kamu temui di jalan setiap 1 Januari,” kenangnya sambil menatap ke satu titik.

1 Januari dan aku 31 Desember. Kebetulan apalagi ini, tanggal lahir kami berdekatan – seperti berhubungan.

Pandangan Bu Laila berubah sedih karena melihatku terdiam. “Iya, Hana. Kamu juga tidak suka sendirian karena kamu anak tunggal. Tidak punya adik atau pun kakak. Itulah kenapa kamu selalu ingin bersama Mami. Makan masih disuapin Mami meski kamu selalu bertingkah dewasa. Kamu sangat suka dimanja, meski kamu bersikap kuat dan mandiri.”

Aku hanya menatap orang ini dengan mata tak percaya. Sesekali mataku berkedip karena bingung harus menanggapi apa. Apalagi saat Bu Laila menyeka air mata yang membasahi pipi mulusnya. Kutaruh makanan ke atas piring karena nafsu ambyar entah ke mana.

“Kamu selalu memperjuangkan cita-cita dan mimpimu. Bahkan, sebelum kamu kecelakaan kamu bertengkar hebat dengan Gavin karena ngotot berangkat ke Paris,” urainya sepatah-patah.

“Maksudnya?” sambungku tidak sabar. Aku menatapnya serius.

Bu Laila memegang kedua lenganku kuat. “Kamu kecelakaan saat hendak menemui ibu komandan di Surabaya. Kata Bang Gavin, kamu nekat ingin bertemu langsung dengan beliau untuk meminta izin. Demi mimpimu ikut Paris Fashion Week, kamu jadi ….” Dia tak kuasa melanjutkan kalimatnya karena tangis sesak.

“Jadi apa, Bu?” tanyaku penuh debar.

“Oh anakku yang malang …,” tangis Bu Laila tak sanggup melanjutkan kalimatnya, sekarang malah meledak seraya meremas-remas lengan kurus ini. Suara tangis emosionalnya memenuhi ruang makan megah ini. Kemudian datanglah Pak Hutomo dengan langkah tergopoh.

“Mami!” sentak Pak Hutomo tak suka sambil memapah Bu Laila duduk dan menenangkannya.

Pak Hutomo kemudian memanggil salah satu ART untuk membawa bu Laila masuk ke kamar. Kemudian pria paruh baya berwajah bijak ini memandangku simpati. Kami sekarang berakhir dengan duduk berdua di meja makan. Dengan dia yang memberiku segelas air bening. Mungkin supaya tenang, wajar jika aku terlihat kaget.

“Sebenarnya, Mamimu sangat terpukul dari kemarin, Hana. Kamu anak kesayangan kami satu-satunya. Susah bagi kami melepasmu menikah dengan tentara dan memulai hidup yang sederhana. Papi sedih saat tahu kamu begitu pasrah disuruh ini dan itu setelah jadi istri Gavin. Kami tahu kamu sengsara, tapi tak bisa menentang keputusanmu.” Pak Hutomo menghela napasnya sambil menunduk sedih. Sementara aku hanya terdiam bodoh demi mengorek informasi.

“Kamu telah memilih jadi istri Gavin dan menjalani hidup di asrama. Terpaksa mengubur dan mengorbankan mimpimu sebagai supermodel. Mamimu kadang sedih saat kamu bercerita harus kucing-kucingan dengan kegiatan Persit. Kamu ditegur saat harus bekerja. Bagimu, pemotretan adalah wahana kebahagiaan,” jelas lelaki berkulit kuning ini panjang lebar sambil mengembus kecil napasnya.

Seketika, rasa simpati memenuhi dada ini. Rupa-rupanya seorang Hana yang kelihatannya sempurna itu punya cela juga, ya? Dia pribadi yang sedih di balik tawa ceria yang dipamerkannya ke dunia maya. Dia memendam amarah saat harus bersikap ramah dan sempurna. Nasib kami sama, kurasa.

“Kenapa Bapak merestui Hana menikah dengan Gavin?” tanyaku aneh, ditambah dengan pemilihan bahasa percakapan ini. Terkesan kaku, dan bukan Hana yang asli.

Benar saja, raut wajah Pak Hutomo berubah makin muram. “Karena kamu mencintainya, Hana. Kamu memilih Gavin dan kami tak bisa berbuat banyak. Dia pria yang baik meski pekerjaannya berat,” jawabnya lirih.

Aku hanya menunduk sambil melipat bibir. Bingung harus bertanya apalagi karena takut mengacaukan suasana. Ingin bersikap simpati seperti anak sendiri, tapi terlalu sangsi. Aku takut dibilang penipu, meski sepenuhnya di mata mereka adalah Hana.

“Sa – saya … ke kamar, ya …?” pintaku kikuk sambil berusaha berdiri.

Pak Hutomo refleks berdiri dan memapahku. Aku lupa bahwa kedua kaki ini masih harus banyak berlatih. Tidak kuat bertumpu terlalu lama dan masih harus bergerak pelan.

“Ya, Papi antar kamu ke kamar,” ucap lelaki ini lembut, “Hana …,” tahannya tiba-tiba yang membuat langkahku terhenti.

Aku menoleh dan menahan lisanku tak berbicara. Aku menatap wajah tua Pak Hutomo yang kelihatan sedih. Hampir saja aku membuat kalimat aneh yang menunjukkan kalau aku bukan Hana. Jujur, lidah ini masih kaku jika harus menganggap mereka orang tuaku apalagi sampai berbicara akrab.

“Papi mohon, jadilah Hana yang dulu, ya? Jangan membuat Mami sedih dengan berkata seperti orang asing. Kami ini orang tua kandungmu. Bicaralah yang akrab, aku-kamu, bukan, saya-saya,” pesannya pelan sambil menuntunku berjalan.

Benar saja, akhirnya terbahas juga!


“B – baik … saya, eh, Hana akan berubah, Pak … Pi!” ucapku bodoh seperti orang gagu. Napasku tertahan karena takut ketahuan dan situasi bertambah kacau.

Namun, ternyata wajah murung itu berubah cerah saat melihat usaha kecilku barusan. Dia kelihatan senang sekali, mungkin menduga kalau ingatanku mulai kembali. Padahal tidak, aku tetap bukan Hana yang mereka kenal.

Aku adalah Sea Rose Sophia. Jiwa yang tersesat di dunia yang aneh ini dan mulai menjalaninya.
***
Bersambung ..

30 Juli 2021 06:23WIB

Udah ketebak belum kenapa Sea masuk ke tubuh Hana?

Terima kasih sudah baca, terima kasih sudah komen. Maaf jika ceritanya nggak sebaik yang sebelum²nya, melihat dari view yang turun dari waktu ke waktu 😭🤣

Tenang aja, bakalan di-update sampai selesai kok ❤️❤️

Terima kasih sekali lagi

Hai, Sea! (End/Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang