Tubuhku terdorong ke depan kala Sean menghentikan motornya kemudian laki-laki tersebut menoleh kepadaku.

"Lo nangis?"

Aku menggeleng, sialnya isakanku masih tidak bisa kuredam.

"Kenapa? Perasaan sebelum pergi lo baik-baik aja."

"Mau pulang," cicitku. Berbohong karena tidak mungkin mengatakan alasan yang sebenarnya kenapa aku menangis.

Sean mendelik kesal. "Dasar nyusahin!"

Motor sport Sean telah berhenti di pelataran mansion, aku lekas turun dan masuk ke dalan mansion untuk pergi ke kamar.

Kota dan keramaiannya dua hal yang berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Embus angin malam terasa hambar, kerlip bintang pun tak menunjukkan eksistensinya. Benar-benar menyedihkan. Tiba-tiba pikiran dan perasaanku campur aduk malam ini.

Di kursi balkon kamarku, air mata kembali mengalir tanpa bisa dicegah. Kuangkat kedua lutut, memeluknya. Kurebahkan kepalaku di atas lutut. Seandainya aku tidak dikuasai rasa emosi mungkin kecelakaan hari itu tak akan pernah terjadi.

"Mau pulang," lirihku dengan tangis penuh nelangsa.

"Lo udah pulang, mau pulang ke mana lagi?"

Aku bergeming karena tahu suara itu milik Sean. Kenapa laki-laki ini harus datang di saat keadaanku begini?

"Keluar, gue mau sendiri," ucapku pelan.

"Kenapa nangis?"

Sean berusaha mengangkat kepalaku, namun segera aku tepis tangannya dengan kencang.

"Kenapa, Alleta? Jawab pertanyaan gue!" teriak Sean membuatku tertegun sesaat.

Tangisku mulai mereda. Kupejamkan mata ini, mencoba melupakan masalah dan situasi yang aku hadapi kini.

"Lihat gue."

Kali ini aku tidak menolak saat Sean mendongakkan kepalaku yang sejak tadi tertunduk. Dia menggenggam tanganku, memintaku untuk berdiri, aku mengikutinya. Sorot intens Sean membuatku sedikit ragu untuk membalasnya. Terkesiap, saat kurasakan jemarinya menari di wajahku, menghapus sisa air mata di sana lantas menangkup kedua pipiku hingga aku kembali mendongak tinggi membalas tatapan laki-laki itu.

"Jangan nangis," ujar Sean. "Kalau lo nangis karena gue marah dan melarang lo pacaran sama Gara, maka sekarang gue udah nggak marah, lo boleh pacaran sama dia," sambungnya.

Aku mengeleng ribut. "Bukan karena itu."

Kerutan tercipta di antara alis Sean. "Terus?"

"Mau pulang, nggak suka di sini," lirihku yang justru terdengar seperti merengek.

Sudah lama aku terjebak ditubuh Leta namun sampai detik ini aku tak bisa menerima kenyataannya.

Sean menarikku ke dada bidangnya lalu menepuk-nepuk pelan kepalaku. "Udah ya nangisnya, nanti gue belikan ice cream, mau?"

"Mau, sama pabriknya, ya?"

Sean terkekeh kecil. "Dikasih hati minta jantung," ucapnya seraya mengacak-acak rambutku, kemudian ia melepaskan pelukannya.

"Biarin," balasku mencebikkan bibir.

***

"Potong bawangnya." Aku menyuruh Sean memotong bawang bombay.

Kami berdua sedang berada di dapur hendak memasak pasta untuk makan malam.

"Auh shhh."

Aku yang akan merebus pasta seketika terhenti manakala mendengar Sean meringis, aku langsung mendekat padanya lantas meraih tangan Sean, menatap jari laki-laki itu yang telah mengeluarkan darah segar.

Tanpa berpikir panjang aku memasukkan jari telunjuk Sean ke dalam mulut untuk menghentikan pendarahan, setelah mengulum jari Sean selama lima detik aku langsung meludah di wastafel.

Aku tarik tangan Sean ke wastafel lantas membasuh jarinya. "Darahnya udah berhenti," ucapku seraya melepaskan tangan Sean.

"Um." Sean membalas dengan gumaman sembari mengamati jarinya yang teriris pisau namun tidak lagi berdarah.

"Lain kali hati-hati, potong bawang aja sampai berdarah-darah."

Sean membalas tatapanku dan berkata. "Siapa yang suruh gue potong bawang?"

"Gue."

"Itu artinya gue luka salah siapa?"

"G-gue, tapi 'kan lo yang—"

"Nggak ada tapi-tapian, pointnya gue luka salah lo," sela Sean.

"Maaf," ujarku sambil berjalan melewati Sean, kembali melanjutkan aktivitasku, merebus pasta, kemudian memasaknya.

Kami duduk berhadapan, makan malam dalam keheningan. Ketika pasta dipiringku telah habis, aku berdiri dari kursi, meletakkan piring kotor ke wastafel. Selanjutnya aku membuka laci dan mengambil sebuah plester luka dari dalam sana.

Aku melangkah ke arah Sean, meraih tangannya dari atas meja. Ku pasang plester ke telunjuk Sean secara hati-hati, karena aku takut menyakitinya.

Jari-jari Sean jauh lebih besar dari jariku, ada uratnya juga. Tidak tahu kenapa aku sangat suka melihat tangan lelaki yang besar dan berurat, bagus.

"Tangan lo bagus ya."

"Um."

Plesternya sudah selesai aku pasang dijari Sean, saat akan melepaskan tangannya, laki-laki itu justru menggenggam jemariku.

"Alleta."

"Kenapa?"

Sean tak langsung menjawab sehingga aku menatapnya lama.

"Cepat ngomong, kenapa sih?" cetusku.

Di tengah-tengah pandangan kami yang terkunci, hal tak terduga terjadi. Tiba-tiba Sean berdiri dari duduknya dan mencium bibirku.

Sesaat waktu seakan berhenti, tubuhku menegang, ujung jari-jari mendadak dingin, dan jantungku berdetak sangat cepat seolah baru menyelesaikan lari jarak jauh.

"Ba-barusan apa?" Aku bertanya dengan gugup. Sebab, otakku mendadak tak berfungsi, bingung.

"Ciuman," balas Sean santai seakan hal barusan bukanlah apa-apa.

"Iya, maksud gue, lo kenapa cium gue?"

Sean menjawab perkataanku di detik itu juga tanpa ragu. "Gue nggak sengaja."

"Maksudnya gimana?"

Aku tatapi Sean secara intens namun laki-laki itu justru membuang muka lantas berbalik badan, membelakangiku.

"Abang nggak sengaja." Setelah berkata demikian, Sean mulai melenggang gagah meninggalkan ruang makan.

"Emang boleh se nggak sengaja itu, Bang?" teriakku, entah dia dengar atau tidak.

A or A [New Version]Where stories live. Discover now