Sejurus kemudian, Sean masuk ke dalam walk in closet. "Jangan lama, gue mau balik ke kamar gue," ucapku dengan suara yang cukup keras, nyaris berteriak.

Tak sampai sepuluh menit, Sean keluar dari walk in closet. Sean memang tampan sehingga apapun yang dipakai laki-laki itu terlihat menawan.

"Berdiri," pinta Sean dengan suara yang lembut. Aku menurut, lalu berdiri dan hendak berjalan keluar dari kamar Sean, tetapi Sean lebih dulu menarik tubuhku. Dengan kurang ajarnya, ia mengangkat tubuhku dan mendudukannya di atas meja.

Sedikit tersentak, aku berusaha bersikap sesantai mungkin. "Nggak sopan!" ucapku sambil memberi tatapan tak suka.

Sean tertawa geli. "Hari ini gue mau ngajak lo jalan."

"Tumben?" heranku.

"Gue minta maaf atas semua perlakuan kasar gue selama ini, mulai sekarang gue mau jadi Kakak yang baik buat lo."

Aku berpikir sejemang. "Okay, dimaafin." Aku mendorong pelan dada Sean, kemudian turun dari atas meja. "Lo mau ngajak gue jalan, kan? Gue mau ganti baju dulu."

Selesai berganti baju, aku menghampiri Sean di ruang tamu. "Ayo jalan."

Sean berdiri dari duduknya, kemudian kami keluar dari rumah. Sampai di luar, rasanya aku ingin mengumpat melihat empat motor sport berhenti di halaman rumah.

Aku menatap malas pada gadis yang tengah duduk di atas motor sambil memeluk erat pinggang orang di depannya. Mereka semua turun dari motor masing-masing, lalu melangkah ke depan ku dan Sean.

"Ngapain lo semua ke sini? Perasaan kita nggak ada janji main bareng hari ini," ucap Sean mengawali pembicaraan.

"Emang nggak ada, anggap aja main bareng dadakan," sosor Rey.

"Lo nggak ada acara, kan? Jadi boleh dong kita main di rumah lo," timpal Dion.

"Gue mau jalan sama Adek gue," pungkas Sean.

"Nggak biasanya lo mau jalan sama Leta?" Kali ini Liam yang membuka suara.

"Oh, Kak Sean mau jalan sama Leta, ya? Yaudah kalau gitu, kami pulang aja." Suara itu terdengar mendayu, tentu saja aku tahu siapa pemilik suara itu meskipun tanpa melihat orangnya.

"Bagus deh, kalau tahu diri."

"Maksud lo apa ngomong kayak gitu?" Gara berkata ketus, mungkin ia tidak terima dengan perkataanku.

"Kalian nggak punya tata krama? Datang bertamu ke rumah orang tanpa diundang atau ngabarin dulu."

"Leta jangan ngomong kayak gitu sama orang yang lebih tua, itu nggak sopan," lontar Karin.

Aku mendelik tak suka. Sok baik banget sih, batinku geram.

Aku melilit kedua tangan pada lengan Sean. "Bang, ayo jalan," rengekku seraya menatap wajah Sean.

"Iya, ayo," balas Sean tersenyum manis. "Sorry guys, gue pergi dulu." Sean pamit kepada teman-temannya.

***

Berkendara bersama Sean kurang dari 30 menit, motor Sean telah berhenti di parkiran toko buku. Aku turun, membuka helm dan memberikannya kepada Sean.

"Ngapain kita ke toko buku?" tanyaku. Namun setelah beberapa detik aku sadar bahwa itu pertanyaan terbodoh.

"Beli buku."

Sean menggandeng tanganku, kami masuk ke dalam toko buku. Kemudian memasuki lorong yang berisi ratusan buku tersusun rapi di atas rak.

Sean melepaskan tautan tangan kami, ia meraih buku bersampul putih dengan hiasan angka serta rumus.

"Habis ini kita ke mall, ya. Gue mau belanja, tapi lo yang bayarin."

"Iya."

"Lo udah punya pacar belum?" tanyaku asal sambil menilik novel yang tersusun di rak.

"Belum." Sean menjawab setelah terdiam beberapa detik.

"Em, tapi ada kan orang yang lo suka?"

"Iya."

Mendengar jawaban Sean yang singkat, aku tak lagi bertanya. Aku yang tidak terlalu suka membaca buku, jadinya bingung dan bosan. Hanya bisa melihat orang yang sedang pilih-pilih buku.

Bosan melihat orang berlalu lalang memilih buku, aku kembali membawa pandangan ke arah Sean. Menatap Sean yang terlihat tenang membaca buku, entah mengapa membuat perasaan tidak nyaman di dadaku bergejolak.

Dari toko buku kami langsung menuju mall. Aku menarik tangan Sean masuk ke dalam store yang cukup terkenal. Begitu masuk, seorang pelayan wanita menghampiri kami. Ia tersenyum ramah. "Ada yang bisa kami bantu, Nona?"

Membalas senyumnya, aku menjawab. "Aku mau mencoba dress dengan warna netral, apa kamu punya rekomendasi?"

"Tentu, Nona. Sebelah sini." Ia mengajakku untuk mengikuti langkahnya.

Aku dan Sean mengekori pelayan wanita itu menuju sisi lain dari store. Di saat yang bersamaan, Sean menyikut lenganku, membuat aku memperlambat langkah.

"Jangan banyak-banyak," peringat Sean.

"Kenapa? Lo nggak sanggup bayar?"

"Kita naik motor, nanti lo kesusahan bawanya."

Mengabaikan perkataan Sean, aku mempercepat langkah menghampiri pelayan tadi yang sudah berdiri di dekat sebuah dress.

"Dress simple dan elegant ini saya rasa cocok untuk, Nona."

"Apa ada warna lain?" Aku bertanya lantaran merasa kurang cocok dengan warna putih yang ditawarkan.

"Tentu ada. Kami punya banyak dress dengan warna netral. Mungkin Nona mau mencoba yang warna hitam."

"Oke, boleh," ucapku.

"Baik. Tunggu sebentar, Nona."

Pelayan itu pergi. Manikku mengabsen dress yang terpajang dengan model yang beragam. Sulit memilih karena dress yang ada di sini tidak ada yang tidak bagus. Semuanya menarik.

Tak lama pelayan itu kembali sambil membawa dress ditangannya. "Silakan di coba, Nona. Ruang ganti sebelah sana."

Aku mengulas senyum lalu berjalan menuju ruang ganti. Kini dress hitam selutut melekat pada tubuhku. Terasa pas, tidak kebesaran ataupun kekecilan. Aku langsung mendekati Sean yang sedang duduk di sofa panjang.

"Gimana, bagus nggak?" tanyaku, meminta pendapat Sean tentang dress yang aku pakai.

"Cantik."

A or A [New Version]Where stories live. Discover now