34. The Morning After

1.4K 286 57
                                    

"Clavina..." Sayup-sayup sebuah bisikan lembut menyapa indra pendengaranku yang masih lelap, diikuti dengan belaian jemari hangat pada pipiku. "Sayang..."

Mataku mengerjap beberapa kali. Perlahan aku melihat wujud Mark sedang membungkuk di atasku. Aroma segar shampo dan sabun mandi menguar dari dirinya, ikut menarik kesadaranku untuk semakin bangkit dari tempatnya meringkuk.

"Bangun..." Suara berat Mark terdengar nyaman sekali, aku justru semakin enggan untuk beranjak.

Aku mengerang pelan. Seluruh sendiku seperti menolak untuk digerakkan. Rasanya, bangun adalah hal yang paling tidak ingin kulakukan untuk saat ini. Kutarik selimut ke atas, ingin lanjut tidur. Tubuhku bersikeras meyakinkanku bahwa ini masih malam.

Aku mendengar Mark terkekeh pelan. Ia mengusap-usap lembut alis tipisku. "Masih mengantuk sekali, ya?" tanyanya lirih, dengan nada geli sekaligus iba yang saling melengkapi. "Tapi waktu shalat subuh akan tiba setengah jam lagi, Sayang. Kau harus bangun. Kau biasanya butuh waktu lama sekali untuk mandi."

Mataku mengerjap lagi, berusaha melawan keinginan untuk kembali memejam.

Mark tersenyum. "Kau tampak kelelahan. Nanti kau boleh tidur lagi sepuasmu. Untuk sekarang, bangun dulu, ya." Ia membujukku dengan nada seperti tengah berbicara kepada anak kecil.

Aku menggeliat, lalu dengan perlahan merubah posisi menjadi duduk. Kubenahi gaun tidur satinku dengan gerakan lambat, agak memiringkan tubuh agar tidak dilihat Mark. "Jangan memandangiku," gumamku tidak jelas dengan suara mengantuk. Pipiku memanas karena Mark duduk di hadapanku, memperhatikanku.

"Memangnya kenapa?" Mark meladeni.

Aku mengucek mataku lalu menunduk dengan membiarkan helai-helai rambut menyembunyikan wajahku. "Aku baru bangun tidur."

Mark tersenyum iseng. "Aku memang sudah melihat wajah bangun tidurmu setiap hari."

Tapi kali ini berbeda.

Meski masih mengantuk sekali, kuputuskan untuk tidak berlama-lama duduk di tempat tidur. Aku tidak ingin semakin salah tingkah lagi karena ada Mark di dekatku.

Kuhampiri lemari untuk mengeluarkan baju ganti dan berjalan gontai ke kamar mandi. Selama beberapa saat, aku malah mematung di depan cermin. Kedua mataku sayu akibat dua lingkaran kemerahan tanda kurang tidur. Rambutku kusut masai. Tubuhku masih terbungkus gaun satin warna marun yang memberiku kesan anggun di tengah kesemrawutan.

Kususuri pelan renda polos gaunku dengan jemari. Pikiranku seperti melambung, layaknya kepul asap dari cangkir teh menghampiri langit-langit.

Potongan-potongan memori kecil mulai bergantian mengisi ruang benak pagiku yang masih lengang. Setiap salah satunya memberi sengatan halus yang berbeda-beda, meninggalkan gelenyar yang sama sekali tidak familier ke jantungku.

Kusadari wajahku bersemu di pantulan cermin.

Perutku merasakan gelitikan intens seperti kepak sayap puluhan kupu-kupu kecil.
Rasanya mirip seperti kasmaran, tapi jauh lebih rumit untuk diuraikan. Seperti sesuatu yang indah, namun aku takut untuk memikirkannya.

Mengingatnya akan membuatku merasa seperti dibakar dari dalam.

Pantulan cermin membuatku terpaku lagi. Kini, bukan karena rona merah muda di pipiku, namun juga lengkung di kedua sudut bibirku.

Mark... tolong keluar sebentar dari pikiranku. Masih terlalu dini untuk mengacaukan isi kepalaku.

Kuhela napas panjang dan berjalan menghampiri bilik shower yang masih harum dengan aroma sabun dan shampo yang dipakai Mark, hal sederhana yang langsung mengirimkan sensasi aneh ke dalam diriku. Sepotong memori mendesak untuk mengusikku kembali.

In A Rainy Autumn [END]Where stories live. Discover now